Kawasan ini redup. Meskipun, pencahayaan di sini sudah paling baik. Kalau dibandingkan dengan lampu yang ada di sekolah, sebenarnya pencahayaan di sini bisa dikatanan 'menang'. Tetapi, memang situasi dan udara di sini mencekam. Bagaimana tidak, ini adalah kawasan— yang berbahaya tapi bisa juga dibilang tidak. Ada yang berangapan tempatnya orang-orang vibe 'kecoklatan'--menuju putih. Artinya--antara tetap coklat ke hitaman, atau ke putih menuju perubahan lebih baik. Ini jelas, berpindah ke 'putih' pasti sangat susah. Makanya, tempat ini diberi nama--
Penjara.
Ini serius, kawasan in terlampaui keluar batas. Seramnya membuat bulu kuduk tetap kokoh untuk berdiri. Walaupun tidak semua orang jahat yang ada di sini. Ada juga yang memang sengaja atau hanya sebagai penjaga keamanan--pengunjung--menjenguk.
Tapi, bagi yang sudah nyaman—terbiasa akan menganggap biasa. Mereka semua pasti akan meremehkan pendatang baru yang—akan jadi mereka.
Diantara kawasan menyeramkan itu, ada Farezi.
Ya, Farezi asli, ori bukan tiruan. Jati dirinya yang pongah dilengkapi kepercayaan diri yang tinggi, kini bersikap 'sok' santai duduk di baling pagar-pagar besi.Kakinya terangkat, entah apa yang dia lakukan, yang pasti—otaknya sedang berjalan cepat.
"Tuan muda!" seru seorang pria berpakaian jas rapi, berlari mengarah ke Farezi. Penampilannya rapi dan harum itu jika dilihat-lihat seperti petinggi dari sebuah instansi megah, atau seorang pejabat. Padahal, lelaki itu, anak buah dari Ayah--Farezi--Favian. Itu Semua karena Ayah Farezi--Favian cinta rapi. Sampai-sampai seluruh pekerjanya di seragamkan, difasilitasi pengharum pakaian nomer satu di indonesia.
Tapi ini sungguh mengelikan. Lelaki itu rapi, mendatangi Farezi yang berantakan dan hanya mengunakan kaos, itupun kaosnya suda terkena noda banyak, akibat dipakai berkali-kali.
"Saya sudah menemukan beberapa data. Anda bisa menganalisisnya," serunya ketika sampai tepat dihadapan Farezi.
Lelaki itu, biasa dipanggil 'Amar'. Menyerahkan beberapa kertas di map-map yang terorganisir. Data berupa tabel dan narasi itu tampak jelas—kejelian yang mendetai.
Farezi menerimanya, dilihatnya berlulang kali setiap per-kertas. Matanya menyipit, terkadang menunjuk-nunjuk angka atau huruf yang dia rasa menarik. Setelah beberapa menit dihabiskan untuk membolah-balikkan kertas, barulah Farezi kembali bicara.
"Terimakasih," ucapnya tersenyum, "ada informasi apa saja?"
Farezi, penerima apresiasi Si Tercerdas tidak pernah puas akan satu saja informasi. Otanya selalau mencari-cari keberlanjutan dari sebuah masalah. Apalagi, masalahnya sekarang, yang entah kapan akan diselesaikan.
Amar, bepikir cepat. Belum ada berapa detik pertanyaan dari Farezi dilontarkan, dia sudah menjawab. "Siswa siswi SMA GAT Indonesia, mengincar sesuatu."
Farezi mengangguk santai, telunjuknya menghadap ke dirinya sendiri, "saya?"
Mata Amar membulat--kaget. Ini memang sudah biasa ketika Amar berbicara dengan Farezi--dan responya cepat dalam menganalisis. Tapi tetap saja, Amar kaget, ntah singyal dari mana, apa Farezi mengunakan WiFi Repeater sebagai medianya dalam mempercepat jalan otak miliknya?
Amar mengalihkan pikirannya yang aneh-aneh. Lagian tidak akan habisnya kalau dirinya memikirkan tentang wifi repeater pada otak Farezi. Kalau memang Farezi ditakdirkan tanggap berpikir kenapa tidak?
Akhirnya Amar menjawab, dengan anggukkan.
Farezi tersenyum—miring. Tanganya turun, kakinya juga.
"Sudah gue duga," ungkapnya--kecewa. Si penerima dua apresiasi ini tidak menyangka siswa siswi di SMA GAT Indonesia mulai mencari-tau secepat itu, "anak-anak emang cerdas."

KAMU SEDANG MEMBACA
Peran Pengganti
Teen FictionMenggantikan posisi penerima apresiasi bergensi. Menerpa gejolak menikam pada Favian. Harus beradaptasi dengan cepat. Ditambah lagi, kaum-kaum pembenci dari peran sebelumnya semakin merajalela. Fisik dan mentalnya dihantam kejam. Sebagai peran peng...