03

141 10 0
                                    


Akhirnya, Favian sampai juga di rumah. Sungguh, menjadi Farezi seharian membuatnya kurang bebas mengekpresikan dirinya. Banyak aturan baru yang-- tidak mau 'harus' dia lakukan. Parahnya lagi, pergaulan dan gaya bicaranya Farezi dan dirinya berbeda. Padahal, dulunya Favian tidak menyadari hal itu, ia menganggap  mereka itu ya-- sama aja. 

Favian langsung menghempaskan tubuhnya ketika sofa dekat dengan tubuhnya. Ana, yang melihatnya cekatan, ia langsung medekat ketika menyadari tuan mudanya itu terlihat kelelahan.. 

"Eh, tuan muda udah pulang," Ana menyambut Favian dengan ceria. 

Pribadi Ana memanglah ceria, walau umurnya sudah tidak muda lagi, tapi gaya bicara dan tutur katanya membuat siapapun senang mendengarnya. Ana juga tanggap ketika tuannya terlihat kelelahan,  ia langsung mengambil alih tas yang favian bawa lalu mempersilahkan Favian duduk.

Favian sesekali menghela napasnya, ia sedikit tersenggal, "iya Bi."

Alis Ana bertaut, ia cukup khawatir. "Capek banget? bibi ambilin minum, ya?"

Favian mengangguk dengan cepat, lekas-lekas Ana melangkah ke dapur, kakinya yang gesit itu cekatan mengambil segelas air putih. Setelah itu, ia kembali ke ruangan depan, memberikan air minum itu kepada  Favian.

"Banyak kejadian yang bingungin di sekolah, Bi," ucap Favian sambil menerima gelas berisikan air putih dari tangan Ana. Wajahnya, terlihat kepayahan, wajar saja ia berkata, jika ia kebinggungan .

"Gapapa, wajar kan baru pertama sekolah."

Favian hanya memicingkan bibirnya, "Eh, emang Kak Farezi terkenal ya di sekolah?"

Ana terdiam beberapa detik,  "katanya sih, gitu."

Mendengar itu, Favian teringat lagi ketika beberapa orang kerap kali menyapannya. Satu dua itu wajar, ini hampir setiap ia melangkah ada saja orang yang menyapa bahkan berbisik halus--alias gosip, "pantesan."

"Kenapa?" tanya Ana penasaran. 

"Jadi kak Farezi ga mudah ternyata," sesal Favian, ia salah, selama ini telah membuat Farezi merasa bersalah, karena tidak perhatian padanya. Padahal, ada banyak yang harus Farezi urus, selain dirinya. "Baru sehari aja ngerasain udah lelah Bi, banyak dramanya."

"Huss, jangan gitu dong," canda Ana untuk mencairkan suasana. "hidup gak asik, kalau gak ada drama."

"Benar juga," jawab Favian pasrah. Tangan Favian menaruh gelas berisikan air putih yang baru saja ia minum, lalu ia berdiri, dan menatap Ana dengan seulas senyuman. "Yaudah, Favian ke kamar ya Bi."

"Iya, hati-hati."

"Kayak kemana aja, pakai hati-hati," tawa Favian seketika, diikuti pula dengan tawa Ana yang membuat suasana nan sepi ini menjadi hangat.

Langkah Favian dipercepat, ia rindu-- tempat tidurnya. Seharian ini, ia tidak nempel seperti  hari biasanya pada tempat tidur. Ya, Favian anak rumahan yang kerjaannya rebahan, kalau sudah kena empuknya tempat tidur, sudah, Favian susah diganggu pokoknya.

Baru saja menikmati empuknya tempat tidur, deringan dari pagilan telepon di ponselnya mengusik. Tangannya nan malas itu segera mengambil ponselnya. Terpampang jelas, tulisan 'bunda' pada layar ponsel tersebut. Favian terkesiaap, ia segera mengangkat telepon dengan sigap.

"Favian," ucap Etisa, ibu dari Favian dan Farezi yang kerap kali dipanggil 'bunda', itu menelepon "nak, kamu baik-baik saja?"

Favian menghela napasnya berat, "baik Bun."

"Gimana, seru, sekolahnya?" tanya Etisa penasaran. Tapi, nuansa dihubungan telepon itu, sungguh, berisik, sepertinya Etisa sedang diluar, mengurus pekerjaan di keramaian.

"Seru Bun, tapi ..." gantung Favian sebentar, tentu membuat Etisa penasaran. Jadi, Favian segera melanjutkan perkataanya, "bingungin semua."

Favian cemberut, ia memanglah manja.

"Tapi kamu senang kan?" tanya Etisa, memastikan. Keinginannya adalah, anaknya senang ketika sekolah, dan yang pastinya, punya kenangan di masa sekolah.

"Iya, Bunda," angguk Favian yakin.

Terjadi keheningan sejenak, ada suara berisik dari sambungan telepon itu jadi semakin jelas.

 "Bun," tiba-tiba Favian teringat sesuatu. "Boleh gak nanti, Favian jalan sama temen ke lapangan?"

"Nanti, istirahat aja, seharian sekolah, pasti capek kan, sayang?"

"Tapi Bun ..." rayu Favia, dengan memelas.

"Tapi apa hayooo," saut Etisa meledek. "Tau 'kan, tangung jawab kamu?"

"Cuma buat hari ini," mohon Favian dengan sangat. Sungguh, ia penasaran apa yang dilakukan Farezi jika di lapangan. Toh, lapangan juga tidak jauh dari rumahnya.

"Hemm, mulai bandel ya," sindir Etika, lagi-lagi membuat Favian tersenyum--merasa bersalah. "Oke gapapa, tapi sebentar aja, dan itu harus dianter."

"Bunda, lapangan dekat sama rumah kita, masa harus dianter." protes Favian tidak terima, apa nanti, yang akan dikatakan teman-temannya ketika melihat dirinya hanya ke lapangan, tapi diantar.

"Ya kalau gitu gaus--"

"Yey! makasih bunda!" potong Favian sekejap, ia tau, Etisa pasti akan cepat berubah pikiran jika ia tidak segera mengambil keputusan dengan peraturan rumit itu.

"Ya, ya terserah kamu, asal hati-hati, pulang jangan larut malem, kasian Bi Ana. Bunda lanjut kerja dulu ya, sampai jumpa nanti ya, Nak."

"Iya, Bunda, pasti."

Sambungan telepon itu langsung terputus. Favian kembali lagi pada tempat tidurnya, sungguh, ia lelah, tapi seragamnya ini membuatnya gerah. Mau tidak mau ia harus kembali duduk, menganti bajunya, baru bisa rebahan dengan tenang.

Ketika bangkit, dadanya terasa sesak--sedikit. Favian kembali berbaring, demi mengurangi rasa sesak itu, namun sayang rasa sesak itu menjadi-jadi. Favian meringis pelan, ia tidak mau sampai Ana mendengar ringisannya nan dramatis itu.

"B-bisa, te-nang," ucap Favian mengatur napasnya pelan-pelan, cara ini memang ampuh,sesak di dadanya berkurang, dan ia bisa kembali melanjutkan aktivitasnya-- ganti baju, walau tidak bersinergi seperti tadi.

***

Hentakan tangan itu membuat Andre hampir meloncat-- di tempat. "Napa lo?" tanya Andre mendekap dadanya, dan lawan bicaranya, Hasri, om muda-- alias anak terakhir dari kakek Andre yang gak nikah-nikah.

"Lo yang kenapa?" Hasri mengembalikan pertanyaan itu balik  pada Andre. Lagian, tujuannya ke sini awalnya ingin menanyakan kabar keponakannya, itu.

"Farezi rada aneh kemarin," simpul Andre seketika, ini membuat daya tarik Hasri pada pembicaraan Andre meningkat. Jelas, karena Hasri tau, kalau Andre dan Farezi sudah bersahabat sejak lama.

"Kan dia emang aneh," sahut Hasri berusaha mencairkan keseriusan yang ada di mata Andre.

"Tapi ini aneh banget," elak Andre, "bisa-bisanya dia lupa sama tempat duduknya sendiri, dia juga lupa arah kantin di mana, padahal jelas-jelas kita dulu sering bolos ke sana. Parahnya, dia lupa sama Sha, padahal jelas, Sha sudah terkenal di sekolah dan dia tau ko, pas liat papan pengumuman, anehnya, ngapa pakai gaya-gaya sok gak tau."

"Lagi pura-pura amnesia aja kali," tanggap Hasri dengan santai, toh, kalau lupa 'kan bisa diingat lagi. "Setidaknya Farezi tidak berubah jadi jahat, atau parah-parahnya jadi moster."

"Halah, Om-om sok ngelawak bae, gak lucu," ucap Andre mengabaikan penjelasan dari Hasri. "Gue itu--"

"Temennya Farezi sejak lama," potong Hasri, sesekali mengikuti gaya Andre-- bedanya, rada dilebai-lebaikan.

"Dah, ya Om," tanggap Andre seadanya.  "Gue ada janji buat ketemu Farezi ke lapangan."

***

17/11/2021





Peran PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang