18

83 7 0
                                    


Setiap sudut kamar ini tenang. Sang pemilik sedang tidur. Tidurnya sangat nyenyak, meskipun sebelum tidur, dirinya dihadapi  banyak drama. Tubuhnya mengaduh, menjadi-jadi, rasanya sakit. Berkali-kali bangun-tidur. Berulang kali Favian mengucap istigtifar.  Padahal kemarin, Favian baru saja pulang dari segala alat-alat aneh. Sialnya, tadi pagi, tubuhnya kembali memberontak. 

Favian tidur terlalu lama, dari tadi pagi, dan sekarang sudah menunjukkan pukul empat sore. Kabar baiknya, tubuhnya sudah lebih baik, walau sedikit pegal-pegal.

Dicarilah, air putih. Tanpa sadar, si anak polos ini, menyentuh surat bersegel. 

Penasaran, dia segera mengambil, dan ternyata itu surat dari Farezi untuknya.

Hallo, Favian.

Gausah basa-basi lagi. Gue gak mau denger lo sakit lagi. Jadi mulai besok lo gausah ke sekolah gue. Gue yakin yang bikin lo tumbang pasti karena lo sekolah. Ikuti kata gue, jangan menyangkal. Gue sayang lo melebihi gue sendiri. Di sini Gue mati-matian keluar, mencari bukti kuat. Dan lo, tugas lo cuma jaga kesehatan lo.

Farezi

"Kamu gak pernah tau Kak," ucap Favian selepas membaca surat non-formal itu. tanpa sadar, air matanya mengalir, perlahan-lahan lama-lama mengalir deras.

Sekolah itu, impiannya. 

Duduk di bangku, bercengrama, bercanda, belajar, beli makanan di kantin, lari-lari di lapangan, tegang dipanggil guru, pusing karena tugas, punya teman banyak nan beragam, sharing satu sama lain, mengenal banyak guru--semuanya! Favian ingin semuanya yang ada di sekolah.

Termasuk Sha.

"Jahat!" 

Mata Favian pedas, emosinya menjadi-jadi. Baru beberapap minggu merasakan sekolah, itupun dipotong karena dia tumbang. Sudah harus berhenti?

Tidak, Favian tidak akan berhenti di sini saja. 

"Gak selamanya aku akan terus sama perintah kakak," protes Favian ditengah sesaknya dada, "A-ku mau sekolah."

Kakinya mencari alih, walau gemetar. Ditatapnya kaca, lalu tertawa.

***

"Hai Bro!" sapa Andre bersemangat. 

Namun yang Andre  sapa hanya mengangguk kaku. Bibirnya masih  pucat sekali. Raut matanya sendu, kantung matanya melebar, jalannya hampir oleng.

Itu Favian--yang menjadi Farezi. Tadi pagi dia memaksakan diri untuk masuk sekolah. Padahal Bi Inah sudah menasehatinya, apalagi tidak ada Bunda, tidak akan ada yang bisa merubah keputusan tetap dari Favian.

Pak sopir juga sudah menasehatinya seperti yang dilakukan Bi Inah, Tapi sama aja, semua tidak menghasilkan apa-apa. Semuanya mengalami penolakan kasar.

Melihat keadaan Farezi--Favian yang menjadi Farezi tidak seperti Farezi seperti biasanya, Andre mengaruk kulit kepalanya yang sejujurnya tidak gatal. Banyak pertanyaan yang tidak bisa dia utarakan sekarang. Sahabat karip Farezi dari lama itu mengerti, ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya, ini waktunya untuk melaksanakan tindakan cepat dan cekatan.

"Eh-eh lo gak papa?" nada Andre beralih menjadi sendu--yang awalnya bersemangat menjadi turun. 

Walaupun sering kesal karena berulang kali diprank oleh Farezi, Andre masih berempati. Bagaimana tidak, wajah pucat Favian terpampang jelas. Dia sebagai sahabat yang masih punya hati tidak bisa menyimpan rasa panik--khawatirnya.

Apalagi, kemarin saat seleksi apresiasi Favian yang menjadi Farezi tidak ada. Banyak argumrn beruntun dialami Andre tadi malam, dan hari ini, Andre menyyimpulkan dengan pikiranya sendiri. 

Peran PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang