[03] Menyedihkan

165 40 0
                                    

"Kamu pinter banget!? Perasaan tiap aku ajak bimbel malah balapan terus," ucap Esther agak sebal. Pasalnya, mereka sedang mengerjakan 100 soal persiapan UTBK dan Cakra bisa menyelesaikannya dalam waktu 2 jam, sedangkan Esther baru selesai 80 soal. Harusnya Esther tidak kaget, karena kekasihnya itu adalah juara 3 KSN Fisika tingkat nasional, juara 1 KSN Biologi tingkat provinsi, dan juara 3 KSN Kimia tingkat kota.

"Aku juga gak tahu ini bener atau gak, sayang." Cakra menimpali sambil memakan camilan.

"Fungsi kunci jawaban di akhir slide itu apa sih, pacarku yang ganteng?" sahut Esther, mencubit gemas pipi kekasihnya.

Cakra hanya tersenyum lalu mengusak rambut Esther pelan. Ia tidurkan kepalanya di atas meja dengan tangan yang menjadi bantalnya, menatap lembut sang kekasih yang kini sudah fokus lagi mengerjakan 20 soal yang tersisa. Jam menunjukkan pukul 07.30 PM, mungkin gadis itu akan selesai sekitar 30 menit lagi.

Lama Cakra menatap gadisnya, menerawang jauh ke angan-angan. Gadis di sebelahnya, yang dia akui paling manis sedunia, kenapa bisa-bisanya mau dengan dia yang jauh dari kata sempurna? Cakra heran, Cakra penasaran. Esther, gadis itu terlampau indah dan sempurna. Terlampau lembut dan tenang.

Cakra merasa dalam dirinya, ia tidak mampu menyanding Esther walau hanya sebagai kekasih sementara. Sahabat, hubungan diam-diam, hanya orang tua yang tahu. Ah, semua itu Haidar Cakrawala yang mau. Lelaki juga pernah tak percaya diri, lelaki juga pernah merasa rendah diri, tak pantas dengan gadis yang bahkan sudah ia buat jatuh hati.

"Esther sayang, kamu cantik banget-pacar siapa?" tanyanya kemudian.

Gerakan Esther terhenti, ia menolehkan kepala untuk menatap Cakra yang matanya lembut sekali, membuat ia jatuh dalam sekali.

"Pacarnya Haidar Cakrawala, cowok paling sabar dan nyaris sempurna." Gadis itu tersenyum, membuat si lelaki tersenyum juga.

"Esther, apa patah terbesar kamu?" Pertanyaan itu, pertanyaan yang bahkan tidak pernah diprediksi oleh Esther sendiri.

Gadis itu berpikir sejenak, menyelesaikan satu soal lagi, lalu menutup bukunya. Ia kembali atensikan fokusnya pada eksistensi di sebelahnya. Mata yang tadinya selembut sutra kini terlihat agak sendu, Esther tahu--tapi juga tidak.

"Patah terbesarku, ketika lihat bunda menangis karena aku." Esther menjawab dengan mantap, bahwa sakit dan patah terbesarnya memang hal itu.

"Kalo gitu, jangan bikin beliau menangis."

Cakra tersenyum. Tersenyum salah arti.

***


"Dari mana saja kamu, Cakra?! Ponsel mati, sebelumnya cuman ngabarin bakal pulang telat tanpa ngasih alasan yang jelas! Maksud kamu apa, huh?!"

Cakra memejamkan aksanya kala kalimat beruntun dengan nada tinggi saat penyampaiannya itu mengudara dan ditangkap oleh daun telinga, menggebrak gendang telinga, dan mengobrak-abrik tatanan hati yang teguh hingga runtuh.

"Kamu gak lupa 'kan kalau hari ini jadwalmu les privat? Gurumu udah datang dan kamu belum pulang! Papa malu!" bentak pria di depannya lagi, yang mengakui bahwa dirinya adalah ayah dari Haidar Cakrawala, Johnny Darwin.

"Jangan diam saja! Jawab!" gertak Johnny, lagi.

"Maaf, Pa. Cakra tadi belajar bareng sama Esther. Ini buktinya, kami gak cuman pacaran, kami persiapan buat ujian dan masa depan. Sekali lagi maaf, Papa." Cakra akhirnya menjawab sambil menyerahkan buku latihannya.

Rumpang [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang