[09] Langitnya, cintanya

97 32 0
                                    

“Cakra, bagusan yang ini atau yang ini?” tanya Nadin sambil menenteng dua rok beda warna dengan model yang sama.

“Bagus semua sih,” jawab Cakra seadanya.

Keduanya kini sedang berada di pusat pembelanjaan. Cakra tidak paham dengan kekasihnya yang tiba-tiba membatalkan rencana pacaran di akhir pekan mereka dan menyuruhnya menemani Nadin membeli rok. Cakra benar-benar tidak habis pikir dengan Esther. Gadis itu berubah aneh setelah kejadian di mana Cakra mengantar Nadin pulang.

“Kenapa bengong?” tanya Nadin sambil mengibaskan tangan di depan wajah Cakra.

“Hah? Ah, enggak. Lo udah belom? Gue ada acara nih sama temen,” ucapnya dengan bumbu kebohongan. Sebenarnya tidak sepenuhnya bohong, teman yang ia maksud itu Esther. Bagaimana pun, lelaki itu harus meminta penjelasan.

“Oh gitu, yaudah ayok ke kasir. Gue cuman mau ini kok,” jawab Nadin lalu keduanya beranjak ke kasir.

Setelah membayar, mereka langsung saja ke tempat parkir. Cakra dingin sekali, membuat Nadin makin canggung. Kendati saat kumpul bersama yang lain, lelaki itu selalu ceria dan menebar lawakan. Nadin hanya belum paham, kalau lelaki yang memboncenginya ini sedang dongkol dengan sang kekasih.

Dalam hati Cakra seperti berucap, “Pacar gue tuh kenapa sih?!”

Beberapa menit dalam perjalanan yang ditemani bising kendaraan lain dan sunyi di kendaraan sendiri, akhirnya motor kebanggaan Cakra sampai di depan pekarangan rumah Nadin. Gadis itu termasuk orang berada. Ayahnya anggota DPRD dan ibunya pramugari, Nadin sendiri adalah anak tunggal—membuatnya sangat kesepian di rumah. Hanya ada para pelayan yang sibuk dengan tugasnya masing-masing.

“Mampir dulu yuk?” tawarnya.

“Lain kali aja, Din. Gue ‘kan tadi bilang ada acara sama temen. Nanti kalo lagi senggang pasti main kok,” jawab Cakra dengan senyumnya.

“Bener, ‘ya? Soalnya gue gak ada temen di rumah, sepi banget gak asik!” timpal si gadis dengan wajah cemberutnya.

“Iya nanti sama yang lain juga,” sahut Cakra yang masih mempertahankan senyumnya.

“Kalo lo sendiri gimana?” Cakra mengerutkan dahi, tidak paham dengan konteks pertanyaan Nadin.

“Maksud gue, lo main ke sini sendiri—gak sama yang lain, gimana?” ulangnya.

“Em...gimana ‘ya? Ahahaha,” jawab Cakra dengan tawa canggung di akhir kalimat.

“Ah, gue udah telat nih. Cabut dulu, ‘ya? Salam buat orang rumah,” ucap Cakra lagi setelah melihat jam tangannya. Nadin mengangguk, lalu Cakra kembali memasang helm dan mulai melajukan motornya.

Satpam menutup pagar ketika Nadin telah masuk. Gadis itu melangkah riang menuju kamarnya, lalu merebahkan tubuh dengan senyuman yang tidak luntur. Meski hal sederhana, tapi ketika dilakukan dengan orang yang disukai—pasti membuat bahagia.

Nadin tidak tahu, bahwa yang membuatnya berbunga-bunga adalah kekasih sahabatnya sendiri. Kalau gadis itu mengetahui faktanya, kira-kira bagaimana, ‘ya?


***

“Udah selesai beli roknya?” tanya Esther kala sang kekasih tiba-tiba masuk ke kamar.

Rumpang [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang