[20] Amin paling serius

241 40 3
                                    

Satu bulan menuju ujian nasional, kelas XII sibuk dengan buku dan les masing-masing. Yang dulunya budak cinta kini menjadi budak buku. Kalimat ‘kita putus ya, aku mau fokus UN’ banyak dilayangkan untuk pasangannya. Tak terkecuali Esther dan Cakra. Mereka tidak putus, hanya mengurangi hal-hal yang tidak penting seperti jalan-jalan di akhir pekan. Keduanya akan belajar di rumah masing-masing saja.

Sebenarnya bisa saja belajar bersama seperti yang sering dilakukan, tapi mereka sangsi kalau saja keduanya malah berakhir ciuman sampai lupa sedang melakukan apa. Oh iya, Ryan dan Erwin juga sama. Mereka jarang nongkrong di angkringan sekarang. Perihal terbongkarnya hubungan Cakra dan Esther, Ryan tentu kaget. Kalau Erwin, dia kan peka. Ryan, lelaki itu tentu tak habis pikir. Bisa-bisanya hanya dia yang tidak tahu.

Lupakan tentang itu semua, kini Esther dan Cakra sedang—apa itu disebutnya?—pertemuan keluarga? Ya, mungkin semacam itulah. Di dalam kediaman keluarga Esther, kelima orang itu duduk saling berhadapan di ruang tamu. Esther masih mendiami pacarnya, sedangkan yang didiami balik mendiami juga. Keduanya ini sebenarnya punya kelainan apa, sih?

“Jadi, Cakra mau kuliah di Amerika?” tanya Jendra, mengawali pembicaraan.

“Iya, ayah. Waktu itu papa bilang katanya ditawarin sama pak bos, apa ayah juga diberitahu?” Cakra menjawab, sekaligus melontarkan pertanyaan.

“Kayaknya waktu itu ayah lagi sibuk jadi gak denger info. Kamu mau kejar beasiswa?” Jendra kembali menyuara dan kini Cakra hanya mengangguk.

“Kalo kamu gimana, Esther?” Kini Johnny yang bertanya.

“Hah?” Gadis itu menganga polos, soalnya dari tadi ia asyik melamun.

“Kamu mau kuliah di mana?” tanya Johnny, sekali lagi.

“Aku ikut Cakra,” jawab Esther singkat.

“Cakra mau ke Amerika, kamu mau ikut dia?” Riani melontarkan tanya dengan nada tidak yakin, dia tahu kalau anaknya itu tidak suka berjauhan dengan orang tua.

Esther mengangguk yakin dan menyuara, “aku lebih baik putus saja daripada LDR.”

“Wah, Cakra. Lihat pacarmu ini!” Cakra hanya terkekeh saja atas ucapan Jendra.

Dan begitulah pertemuan malam itu. Selanjutnya hanya berisi obrolan ringan dan membicarakan tentang akademi Esther maupun Cakra. Keduanya murid berprestasi, kejar beasiswa rasanya mudah-mudah saja. Ya, kalau beruntung juga sih. Manusia tidak akan tahu takdirnya akan bagaimana ‘kan?

Esther dan Cakra, keduanya kini sedang duduk saling sandar di bangku panjang balkon kamar sang hadis. Dengan aksa yang menatap gelapnya langit malam bertabur ribuan bintang, mereka tidak mengucap kata apa pun. Hanya duduk dalam sunyi sambil menyelami ciptaan Tuhan di atas sana.

“Kukira kamu bakal pergi ninggalin aku, ternyata cuman kejar beasiswa.” Sang gadis menyuara, tawa sang lelaki mengudara.

“Hey, kejar beasiswa dibilang cuman.” Cakra menimpali.

“Kalo buat kamu kejar beasiswa tuh gampang. Masalahnya sekarang, aku agak ragu.” Suara Esther memelan di akhir kalimat, membuat Cakra menoleh dan menatap gadisnya.

“Kamu gak boleh ragu, gak boleh terlalu memaksa juga. Sekarang, cukup yakin saja sama dirimu sendiri. Kalo memang takdirnya gak bisa, ‘kan gak harus Amerika, gak harus beasiswa juga.” Cakra tersenyum.

“Kalo satu jalan gak bisa dilewati, kita harus cari jalan lain.” Lelaki itu melanjutkan, lalu memeluk kekasihnya dalam dekap penuh semangat.

“Jalan lain?” Cakra mengangguk, lalu Esther melanjutkan, “nyogok profesornya?” Lelaki itu melepas pelukannya, menatap ratu bintangnya dengan alis mengerut tak percaya. Sedangkan Esther hanya tersenyum singkat, mengecup pipi sang langit, lalu memeluknya lagi.

Rumpang [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang