[12] Sorak bahagia

99 31 0
                                    

“Ciee baikan~” Riani menyuara setelah melihat anak gadis dengan kekasihnya kembali lengket.

Keduanya hanya tersenyum lalu mendudukkan diri di sofa. Riani memandangi mereka dengan senyum lebar yang terlihat geli. Dia sekilas teringat tentang masa mudanya dulu, waktu pacaran dengan Jendra di bangku kuliah.

“Bunda, aku mau nginep di sini boleh gak?” tanya Cakra.

“Kenapa tanya? Ya pasti boleh lah. Hari ini ayah juga lagi lembur, papamu juga ‘kan?” Lelaki itu hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Yaudah kita mau ganti baju dulu, nanti bantuin bunda masak.” Keduanya beranjak setelah mengucapkan kalimat tersebut dan diiyakan oleh Riani.

Sekiranya 15 menit mereka berganti baju sekalian mandi tadi. Keduanya kini telah berada di dapur bersama Riani yang sedang menerangkan akan memasak apa. Jendra dan Johnny sedang lembur, mereka juga berniat membuatkan bekal agar tidak makan makanan kantor yang monoton.

Jadi, menu yang akan mereka buat adalah semur jamur, ayam kecap, dan capcai. Semua bahan telah tersedia. Cakra mengajukan diri untuk membuat semur dan ayam kecap, sedangkan Riani membuat capcai. Esther tidak terlalu pandai memasak, makanya dia hanya kebagian untuk membantu yang lain saja. Seperti mencuci sayuran, memotong bawang, dan bahan yang lain.

Mereka banyak mengobrol selama memasak bersama. Esther yang banyak tanya seputar memasak, takaran bumbu, dan cara membuat bumbu gerus sendiri. Ibu maupun kekasihnya dengan senang hati menjawab. Kadang mereka juga bercanda dan tentunya melakukan hal uwu yanv membuat Riani agak mual.

“Dasar anak muda,” katanya.

Mungkin sekitar 45 menit, masakan mereka selesai. Karena dilakukan bersama, tentu akan lebih cepat ‘kan? Riani membungkuskan makanan untuk suaminya dan ayah Cakra. Sedangkan Esther dan kekasihnya kebagian untuk mencuci alat masak yang kotor, mereka juga membereskan dapur.

“Nanti kita saja yang antarkan, bunda. Sekalian jalan-jalan, Esther pengen batagor katanya. Bunda mau juga gak?” Cakra menyuara kala selesai dengan kegiatannya dan Esther.

“Kamu tuh ‘ya! Udah dimasakin tetep saja pengen jajanan luar. Gak deh, bunda gak mau.” Esther meringis kala mendengar jawaban dari ibunya itu.

“Yaudah bunda, kita nganterin ini ‘ya?” Wanita itu mengangguk dan tersenyum.

Keduanya beranjak, membawa makanan yang akan diberikan ke ayah masing-masing. Menaiki motor kebanggaannya, Cakra maupun Esther tersenyum riang menyambut jingga di ujung langit, disaksikan jalanan kota tempat lalu lalangnya kendara.

Beberapa menit kemudian, mereka sampai di gadung perusahaan tempat ayah keduanya bekerja. Sebelumnya tadi Cakra sudah menelepon ayahnya bahwa ia dan Esther akan datang membawa makanan. Maka dari itu, mereka hanya perlu menitipkannya ke resepsionis yang nanti akan diambil oleh Johnny dan Jendra sendiri.

Setelah selesai dengan urusan tersebut, sesuai rencana—mereka menaiki motor lagi dan menuju ke depan sekolah, yang memang jalanan di sana banyak terjajar penjual kaki lima. Besar kemungkinan teman satu sekolahnya jajan juga di sini, makanya Esther tidak berani memeluk mesra langitnya.

“Kamu cuman mau batagor? Cilok, gak mau?” tanya Cakra kala mereka sudah berhenti di depan gerobak penjual batagor.

Esther menggeleng pelan, gadis itu masih nangkring di motor sedangkan Cakra sudah turun untuk memesan. Sore ini cukup ramai, membuat Cakra lama menunggu karena demi Tuhan—batagor di sini enak sekali sehingga banyak yang minat. Mungkin salah satu atau dua dari pembeli di sini termasuk murid satu sekolahnya.

Setelah mengantre beberapa menit, lelaki itu menghampiri Esther dengan kantong keresek putih menggantung di jemari. Dia tersenyum, memberikan kantong tersebut pada Esther lalu melajukan motornya. Semilir angin menyapa kulit, jingga menggelap di ujung sana—disambut semburat biru tua yang menyapa. Terbawa suasana, kedua lengan Esther melingkar pada pinggang Cakra tanpa sadar, menyandarkan kepala di punggung lelaki itu, lalu terpejamlah kedua aksanya—menikmati waktu yang cepat berlalu.

Lihat, bahkan hanya selang beberapa menit—keduanya telah sampai di kediaman keluarga Esther. Cakra memarkirkan motornya, lalu keduanya masuk. Riani yang tengah membaca majalah di ruang tamu, menoleh. Wanita itu lalu mengajak keduanya untuk makan malam. Di ruang makan yang kini hanya diisi 3 orang, tidak mengurangi ramai sedikit pun.

Setelah selesai dengan makanannya, Cakra membantu Esther mencuci piring dan gelas yang tadi digunakan. Sedangkan Riani, beliau menuju ke kamarnya untuk menonton sinetron katanya. Padahal di ruang tengah juga ada televisi, mungkin karena di kamar lebih nyaman atau mungkin karena Riani terlampau peka. Hey, anaknya baru saja berbaikan dengan sang kekasih, mereka pasti ingin waktu berdua. Riani juga pernah muda.

Jadi, mari kita beralih membahas Esther dan Cakra yang kini sedang duduk berhadapan dengan buku tugas di depannya. Seperti yang telah terencana, mereka akan mengerjakan tugas bersama. Sebenarnya bukan tugas sekolah, hanya beberapa latihan soal untuk persiapan ujian. Keduanya memasuki semester 2 yang mungkin hanya akan terisi selama 3 sampai 4 bulan dan sisanya ujian-ujian.

“Udahan yuk, aku capek.” Esther menyuara pelan sambil menutup bukunya, lalu mengatensikan aksanya pada sang kekasih.

Cakra menatapnya sebentar, tersenyum tipis, laku melakukan hal yang sama dengan Esther. Setelah puas bertatapan tanpa ada maksud tertentu, mereka lalu membereskan buku dan Esther mengambil laptop untuk menonton movie. Ah, sambil makan batagor.

“Pengen nonton apa?” tanya Cakra yang kini sedang menyambungkan koneksi WIFI dan membuka aplikasi Netflix.

“Oxygen?” usul Esther, dan langsung diangguki oleh Cakra.

Film pun dimulai, sebenarnya Esther maupun Cakra tidak terlalu tertarik dengan genre film fiksi ilmiah seperti ini. Tapi karena penasaran akibat Esther yang tidak sengaja membaca sinopsis tadi, jadilah ia mengusulkannya. Film ini merupakan film thriller Perancis karya sutradara Alexandre Aja. Bercerita tentang ilmuwan wanita yang tiba-tiba terperangkap dalam tabung medis cryogenic.

Kalau boleh jujur, film Oxygen ini agak membosankan karena hampir seluruh ceritanya berlatar tabung medis. Tapi untungnya alur cerita di film ini menarik, agak dramatis, misterius, dan bertabur sedikit teka-teki. Dari tadi Esther juga tidak bisa mengalihkan atensi dari layar, Cakra terkekeh melihatnya.

Esther menghela napas dan meregangkan ototnya. Di sini aku tidak bisa mendeskripsikan ending dari film itu, kalau penasaran silakan menonton saja sendiri ‘ya.

“Udah jam 9, mau tidur atau nonton lagi?” tanya Cakra sambil menatap Esther yang terlihat sudah lelah.

“Tidur saja. Tapi kamu jangan langsung ke kamar tamu, cuddle dulu.” Cakra mengangguk sambil tersenyum jenaka. Kekasihnya ini lucu sekali.

Keduanya lalu beranjak setelah Cakra menutup laptop. Esther melepas tali rambutnya, lalu memeluk Cakra dan menenggelamkan wajahnya pada dada lelaki itu. Cakra terkekeh sebentar, lalu mengelus lembut surai pirang Esther. Lelaki itu terperanjat sedikit kala merasakan tubuh dalam dekapnya ini bergetar.

“Sayang, kenapa?” tanyanya sambil menarik tubuh Esther dan menatap dalam gadis itu.

“Aku kangen kamu, maaf ‘ya?” Gadis itu makin terisak, membuat hati Cakra patah lagi.

“Kenapa minta maaf? Kangen bukan dosa, kecuali kamu kangen sama suami orang.” Cakra menimpali dengan canda, tersenyum manis untuk mengubur patah yang mungkin sedang melanda hati kekasihnya.

“Tidur, ‘ya? Jangan sedih, aku cuman milik kamu.” Setelah kalimat itu keluar dari lisan Cakra, Esther merasa lebih baik dan mengangguk singkat. Gadis itu lalu kembali masuk dalam rengkuh langitnya, memejamkan aksa—menutup dunia dan menyambut mimpi-mimpi dalam alam bawah sadarnya.

Sedangkan Cakra masih terjaga, kini bukan mengelus—melainkan menepuk pelan kepala Esther. Begitu terus selama beberapa menit hingga dirasa sang kekasih sudah lelap dalam tidurnya. Cakra lalu tersenyum, melepas pelukan Esther dengan hati-hati dan untuk penutup hari ini—dikecupnya lama dahi Esther, menyalurkan cinta yang sulit diungkap menggunakan frasa atau kata.

Entah bagaimana hari kemarin atau besok, yang terpenting adalah hari ini yang penuh suka cita. Bukan lagi perayaan patah hati, tapi sorak bahagia rumpang yang sebentar lagi akan rampung.

—Rumpang—

Rumpang [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang