[10] Saran Papa dan luka

94 28 0
                                    

Cakra lagi-lagi tidak paham kenapa ia bisa berakhir hanya berdua dengan Nadin di sebuah pusat pembelanjaan. Setelah tadi gadis itu meminta ditemani membeli buku di Gramedia, Nadin malah merembet ke toko pakaian. Cakra juga lagi-lagi tak habis pikir dengan Esther yang mencipta sekat dengannya.

Gadis itu—kenapa?!

Sudah hampir satu bulan, kekasihnya membuat jarak dan selalu memintanya untuk mengantar Nadin pulang atau berbelanja. Erwin dan Ryan yang berperan sebagai pengamat pun agak bingung. Esther seperti berubah dari biasanya, gadis itu ‘kan protektif sekali dengan Cakra—kendati katanya hanya sahabat—tapi sekarang malah membiarkan lelaki itu jalan dengan Nadin.

Sebenarnya sih bukan masalah besar kalau dipikir-pikir. Nadin sahabat Esther, yang berarti sahabat Cakra juga. Seperti halnya Erwin juga Ryan. Kalau hanya menemani membeli sesuatu atau mengantar pulang, bukankah itu hal yang biasa saja?

Harusnya, memang begitu.

“Mampir, ‘ya?” tawar Nadin kala mereka sampai di depan rumahnya.

“Maaf, Din. Lain kali aja deh, udah sore juga.” Cakra menolak dengan halus, membuat wajah Nadin kembali murung. Satu bulan Esther menjauhi Cakra, satu bulan itu juga Nadin dekat dengan lelaki itu—dan dia tidak pernah menyetujui tawaran Nadin untuk mampir ke rumahnya.

“Yaudah, hati-hati ‘ya?” Senyumnya, terpaksa.

Gadis itu menatap punggung lelaki yang ia taksir tersebut, ia melaju menjauhi komplek perumahannya. Nadin menghela napas pasrah, lalu masuk saja ke rumahnya, tenggelam dalam kesunyian sambil memikirkan taktik apa lagi yang akan ia lakukan agar bisa berduaan dengan Cakra.

***

“Maaf, Cakra. Tapi anaknya lagi gak mau ketemu kamu, katanya mau fokus belajar buat ulangan.” Ucapan dari Riani kala Cakra berniat menghampiri sang kekasih itu—membuat lelaki tersebut menghela napas lelah.

Selalu seperti ini. Selalu saja omong kosong tentang fokus belajar yang jadi kedok. Fokus belajar apanya? Dari dulu mereka belajar bersama untuk menghadapi PTS, PAS, dan juga PAT—nilai mereka masih baik-baik saja walau belajar sambil pacaran. Untuk yang seperti ini, Cakra tidak pernah percaya tapi tetap pergi tanpa rasa curiga. Maksudnya, curiga bahwa gadisnya bersama lelaki lain.

Esther tidak akan melakukan itu, karena ayahnya pasti akan marah.

Jadi, kini Cakra hanya mengangguk lesu dan beranjak pergi. Lagi pula sudah sore, ayahnya akan pulang sebentar lagi. Semenjak pengakuan Cakra waktu itu, Johnny jadi jarang pulang malam. Pria itu lebih suka menemani anaknya belajar sambil meminum kopi dan mengerjakan pekerjaannya sendiri.

Setelah menutup pagar dan memarkirkan motornya di garasi, lelaki itu lalu melepas sepatu dan masuk. Menyalakan lampu, meletakkan tasnya di sofa, lalu mengambil sapu. Itu sudah rutinitas, jadi kalau ayahnya pulang—rumah sudah bersih, rapi, dan makanan sudah tersaji.

Setelah pekerjaannya selesai, lelaki itu lalu mandi—membersihkan diri dan juga menyegarkan pikiran. Satu bulan ini sangat mengganggunya. Harusnya Esther cerita saja kalau memang ada masalah, iya bukan? Tidak perlu memendamnya sendiri seperti ini.

Beberapa menit kemudian, ia selesai dengan acara mandinya. Lelaki itu lalu memakai pakaian dan duduk di balkon, ditemani secangkir teh tanpa gula dan lagu-lagu dari daftar putar milik Esther. Malam sudah menyapa, bentangan langit gelap menyelimuti bumi—tanpa taburan bintang ataupun eksistensi bulan. Sepi, sunyi, hambar sekali. Persis, persis sekali seperti hari-hari Cakra belakangan ini. Langitnya sepi, bintangnya menjauhi.

“Halo, Esther?” sapanya pada gadis di seberang sana. Kekasihnya menelepon, setidaknya suara lembut itu bisa mengobati sepinya.

Cakra, besok temani Nadin—

Rumpang [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang