[01] Langit dan Bintangnya

431 60 0
                                    

[Mainkan lagunya, ubah latarnya jadi hitam. Agar tulisan sendu ini makin terasa di lubuk terdalam]

***

Malam itu, kala bintang dengan romantisnya hadir menghiasi langit gelap yang kelam. Duduk pula dua insan penyandang status kasmaran di sebuah bangku panjang yang lumayan usang. Menyesap cappuccino cincau, salah satunya berdiskusi dengan angin dalam hati, yang satu lagi menatap bintang di atas sana. Indah.

"Esther, aku mau ngomong sesuatu." Si lelaki memulai pernyataan besarnya sebagai remaja yang jatuh cinta.

"Hm? Apa?" tanya si gadis, mengatensikan pandangan pada manusia di sebelahnya.

"Mungkin kamu udah tahu 'ya, kalau aku naksir kamu. So, will you be my girlfriend?" Pernyataan yang ditahan beberapa bulan itu akhirnya menyuara lepas terbang di udara, menggebrak gendang telinga gadis di sebelahnya.

Lama ia terdiam, walau aksanya yang lepas dari si cucu Adam. Esther, gadis itu menghela napas gugup lalu tersenyum--indah seperti bintang, persis namanya, Esther Soraya. Ia lalu meletakkan cup minumannya di belakang tubuh, pada bagian bangku yang kosong. Tubuhnya ia dekatkan pada si lelaki, mendongak sedikit untuk mempertemukan kedua belah cherry-nya dengan belah pualam yang baru saja menyuarakan rasa.

"Yes, i will. Cakra, I'm yours now." Jawaban Esther mengudara, selain menggebrak gendang telinga--itu juga berefek getaran pada hati.

Dan itulah awal, bagaimana Esther Soraya--menemukan langitnya, rumahnya. Juga Haidar Cakrawala, tempatnya para bintang--yang berhasil menobatkan ratu pada langitnya.

Langit mereka, kerajaan mereka, hari-harinya ditemani pelangi juga mendung-sama seperti langit yang lain. Tiga tahun, waktu yang singkat namun terasa begitu berarti bagi mereka. Bagaimana badainya berkuasa, hujannya menangis pilu, kadang gemuruh kecil ikut serta. Juga bagaimana pelanginya melengkung senyum, mataharinya meriang gembira, juga kadang senja yang sulit berpamit ikut serta.

Tahun akhir SMA, mereka mengaku bahwa hubungan asmara tak lebih penting dari materi pendidikan. Sibuk bersiap pada tempur, sampai berakhir salah pertempuran. Tidak fatal, tidak juga sepele. Berani terikat, harus berani juga menanggung sesak. Esther dan Cakra, berteriak pada semesta kalau mereka menyanggupi itu.

Jadi, bagaimana?

"Kamu ada bimbel?" Gadis yang ditanya mengangguk.

"Kamu juga?" Si lelaki menggeleng singkat, menepikan motornya kala mereka telah sampai di depan kediaman si gadis.

"Mau temani aku? Jam tujuh malam nanti, bisa?" tanya Esther.

"Maaf, aku ada balapan malam ini." Jawaban itu, jawaban yang tidak mau Esther dengar dari kekasihnya.

"Apa balapan lebih penting dari aku?" tanyanya.

Cakra menghela napas berat, badai di langitnya mungkin akan datang kalau ia salah menyuara kali ini. Esther lelah dengan usahanya mempertahankan nilai. Cakra juga lelah dengan usahanya meraih mimpi juga memperjuangkan hobi.

Salah satunya menyulut api, satunya jangan sampai terjerat emosi. Katanya.

"Senja ini dingin, kamu harus masuk. Jangan lupa mandi dan--"

"Pertanyaan aku belum dijawab." Esther memotong.

"Pernyataan aku juga belum usai, kamu jangan potong omongan orang lain, Esther." Cakra menimpali, dengan nada yang lembut. Lelaki itu lalu turun dari motor kebanggaannya. Berdiri tegap di hadapan sang kekasih, menipiskan jarak dan memeluk tubuh rapuh di depannya.

Rumpang [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang