[08] Esther, Nadin

100 31 0
                                    

Esther tersenyum melihat pengumuman rangking di majalah dinding. Dari dulu, nama Haidar Cakrawala dari kelas XII MIPA 2 selalu nangkring di baris pertama satu jurusan. Cakra memang selalu menjadi rangking 1 dan Esther akan menjadi yang kedua.

“Santuy amat,” ucapnya pada sang kekasih yang malah makan somay di emperan kelas. Gadis itu sudah beranjak, omong-omong.

“Nomor satu, ‘kan?” tanya Cakra dengan santai.

“Hafal banget ‘ya, mas?” Esther mencibir, lalu mendudukkan dirinya di sebelah Cakra.

Beberapa menit kemudian, teman-temannya datang. Membicarakan tentang hasil PAS kemarin, lalu berlanjut mengobrolkan tentang ujian nasional yang sebenarnya masih lama. Memang, kalau kata murid di kelas Esther ataupun Cakra—lingkup pertemanan mereka tergolong sulit ditembus. Karena katanya berisi murid-murid ambisius nilai.

Mereka berlima sebenarnya tidak masalah kalau ada yang ingin gabung. Karena demi apa pun, mereka ini santai sekali. Metode belajarnya juga simpel, kecuali Cakra yang dulu ditekan ayahnya. Kelima murid itu biasanya mengobrolkan tentang materi pembelajaran. Apa yang mereka kurang pahami, akan didiskusikan bersama.

Lingkup Esther maupun Cakra itu sehat, walau kadang sesat juga. Iya karena namanya juga remaja SMA yang masih suka coba-coba. Balapan, bolos kelas, ambil gorengan 5 tapi bayarnya hanya satu, dan hal-hal kekanakan lainnya. Kecuali merokok dan minum-minum.

Bel masuk berbunyi, Cakra dan dua temannya kembali ke kelasnya. Sedangkan Esther dan Nadin hanya perlu sekali melangkah dan masuk ke kelasnya sendiri. Karena hari pertama masuk setelah libur, gurunya hanya bercerita sedikit. Ada juga yang tetap memberi materi dan tugas, guru matematika wajib dan peminatan, kimia, fisika, dan biologi. Mata pelajaran penting di kelas MIPA, tapi tidak dipungkiri kalau segelintir anak MIPA membencinya.

“Esther,” panggil Nadin di sebelahnya. Kini mereka sedang mengerjakan soal matematika yang baru saja diberikan. Gurunya keluar, katanya ada urusan.

Esther berdeham kecil, masih mengatensikan pandangan dan pikirannya pada beberapa angka dan bangunan di bukunya. Nadin menatapnya dengan ragu, ia bingung harus memulainya bagaimana. Karena tak kunjung mendengar suara dari lawan bicaranya, Esther menoleh—meletakkan pulpennya lalu menatap penuh pada temannya itu.

“Ada apa?” tanyanya.

“Gak tahu, gue bingung ngomongnya gimana,” jawab gadis itu sambil menunduk.

“Ngapain bingung? Yang lo ajak bicara temen karib lo nih,” timpal Esther lalu kembali mengerjakan tugasnya.

“Yaudah gue bilang, tapi lo jangan ketawa, jangan ember juga.” Esther mengangguk dan kembali menatap Nadin yang mulai serius.

“Sebenernya, gue suka sama Cakra.” Pengakuan dari Nadin yang sangat tiba-tiba, membuat pulpen gambar kucing yang pernah diberikan Cakra itu jatuh dari genggaman.

“Ah, sebentar.” Gadis itu mengambilnya lagi dari lantai, lalu meletakkannya di atas buku.

“Lo suka Cakra—yang mana?” Pertanyaan bodoh, Esther akui itu.

“Yang mana lagi, bodoh? Ya Cakra temen kita lah! Haidar Cakrawala!” jawab Nadin dengan menggebu walau nadanya masih berbisik.

“O—oh, Cakra yang itu...” timpal Esther dengan salah tingkah.

“Lo ‘kan yang paling deket nih, bisa gak atur pertemuan gue sama Cakra biar bisa jalan berdua gitu?” Permintaan dari Nadin itu, membuat isi kepala Esther menjadi buyar.

Lagi pula orang gila mana yang mau mengatur pertemuan pacarnya dengan sahabat sendiri yang mengaku menyukai si pacar?! Tapi di sini Esther bisa apa kecuali mengangguk agar Nadin senang? Jadi, selama mereka berteman ini, dia menyukai kekasihnya? Esther agak tidak percaya. Padahal ia mengira kalau Nadin menyukai Erwin. Perasaan manusia memang sulit diprediksi.

Singkat waktu, bel pulang berbunyi. Esther dan Nadin beranjak bersama, tepat setelah keluar dari kelas—terpampang sosok Cakra di sana. Lelaki itu tersenyum, lalu mengajak Esther untuk pulang bersama—seperti biasa.

“Em, Cakra. Lo anterin Nadin aja deh, ibunya gak bisa jemput.” Perkataan Esther itu bukan hanya mengherankan Cakra, tapi juga Nadin. Namun setelahnya si gadis tersenyum dalam hati. Ternyata Esther geraknya cepat juga.

“Terus lo gimana?” tanya Cakra.

“Ayah jemput, katanya sekalian mau ngajak jalan-jalan.” Gadis itu natural sekali, seperti tidak sedang bersandiwara. Mungkin kapan-kapan bisa bermain film dengan Jang Dong Yoon—idolanya.

“Jalan-jalan? Ke mana? Kok gue gak diajak?” heran si lelaki, sejenak keduanya melupakan eksistensi Nadin.

“Emang lo siapa? Udah sana anterin Nadin, jangan ngebut, jangan petakilan!” Sebenarnya Cakra masih mau menanyakan banyak hal, tapi Esther malah mendorong tubuhnya juga Nadin. Ya, mau bagaimana lagi—hari ini jok motornya harus ditumpangi oleh gadis lain atas titah kekasihnya sendiri.

Sedangkan Esther yang kini berdiri di depan pohon beringin, menatap datar pada dua manusia beda jenis kelamin yang sedang berjalan menuju ke tempat parkir. Nadin adalah teman Esther, yang mana adalah teman Cakra juga. Dari posisinya, mereka tidak terlihat canggung sama sekali.

Esther, agak patah hati.

Mengesampingkan retakan di hatinya, gadis itu lalu menelepon sang ayah untuk menjemput. Puji syukur karena pria itu sudah pulang kerja. Kalau belum, bisa habis dia diinterogasi oleh kekasihnya itu. Cakra itu walaupun manis, dia kalau sudah merasa ada yang janggal—akan berubah menjadi sangat mengintimidasi. Esther ngeri.

Beberapa menit kemudian, mobil sang ayah datang. Esther langsung saja masuk, tanpa basa-basi, sang ayah melajukan mobilnya. Di perjalanan, mereka tidak mengobrol seperti biasa karena Esther tertidur. Sebenarnya pura-pura, agar ayahnya tidak menanyakan perihal Cakra.

Sekiranya 15 menit, mereka sampai di rumah. Jendra tidak membangunkan Esther, pria itu langsung menggendong anaknya ala pengantin ke kamar. Tidak lupa pula melepas sepatu dan kaus kaki gadis itu. Kenyataan bahwa Esther hanya pura-pura, membuat gadis itu merasa tidak enak.

Dirasa ayahnya sudah melenggang pergi, ia mendudukkan dirinya. Menghela napas lelah walau tidak paham apa yang membuat hatinya gundah. Perihal rasa Nadin untuk Cakra, apakah ia harus ceritakan pada kekasihnya itu? Bukankah suatu hubungan harus saling terbuka? Tapi Nadin tidak memperbolehkan ia untuk mengatakan hal itu? Bukankah dalam persahabatan harus saling menepati janji?

Ah, Esther pusing.

Esther juga...patah hati.

“Kenapa galau sih anjir?! Tetap happy kiyowo dong walau sahabat naksir pacar sendiri!” monolognya, lalu tenggelam dalam pikiran negatifnya sendiri.

Biasa, manusia.

—Rumpang—

Ini Jang Dong Yoon, aktor kesukaan Esther Soraya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ini Jang Dong Yoon, aktor kesukaan Esther Soraya.

Rumpang [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang