[02] Esther tidak tahu

218 43 2
                                    

"Esther, bangun sayang."

Ya, yang tidur di paha memang Cakra, tapi si empu paha juga ikut tertidur. Lelaki itu tersenyum tipis, mengelus pelan rambut gadisnya. Indah sekali, ratu bintang di langitnya indah sekali. Tuhan memang tidak main-main saat menciptakan Esther Soraya. Kalau diumpamakan, mungkin Esther mirip dengan Bandung, lahir saat Tuhan tengah tersenyum.

"Babe, wake up. We are late," ucapnya lagi--sambil menggoyangkan pelan bahu gadisnya.

Esther menggeliat kecil dan menyesuaikan cahaya yang memasuki retinanya. Ia tersenyum simpul ketika melihat wajah tampan kekasihnya yang pertama muncul saat ia membuka aksa, bukan petugas UKS atau guru BK.

"Ayo aku antar ke kelasmu, nanti aku datang lagi. Kamu mau apa? Bubur ayam atau roti saja?" Cakra itu, agak cerewet.

--tapi Esther tetap cinta.

"Roti saja sama cimory--yang blueberry 'ya?" jawab Esther sambil membelai pipi kekasihnya.

"Ganteng banget," ucapnya kemudian. Ah, sukses sekali membuat Cakra tersenyum sambil tersipu. Esther ini, suka tiba-tiba.

"Kamu juga. Cantik banget, indah banget, manis banget-hampir aku sebut sempurna tapi katanya kesempurnaan hanya milik Tuhan," balas si lelaki--sambil balik membelai pipi si gadis.

"Kalo gitu sebut saja aku sempurna karena milik kamu," sahut Esther lalu tersipu sendiri--juga Cakra sebenarnya.

"Hahahaha, kamu manis. Sebelum pura-pura jadi sebatas sahabat, boleh sun dulu gak?" tanyanya. Kelebihan Cakra adalah, selalu meminta izin ketika hendak melakukan skinsip yang berlebih.

"Sun? Boleh, di mana?" tanya Esther balik.

"Terserah," jawab Cakra sambil tersenyum.

Tolong, mereka saling tatap dengan cinta, seolah tenggelam dalam aksa lawannya. Tolong, kasihan ruangannya yang menjadi saksi bisu.

"Kalo terserah berarti gak usah," balas Esther. Ia terkekeh kecil ketika melihat raut wajah Cakra yang cemberut.

"Gak usah lama-lama maksudnya, sayang. Lihat, udah jam 7 kurang 15 menit." Gadis itu melanjutkan.

Cakra tersenyum, lalu lelaki itu mendekatkan dirinya pada si gadis, menempelkan belah pualamnya pada pipi gembul gadisnya itu. Esther tersenyum, begitu pula Cakra yang belum menjauhkan dirinya, mereka saling tatap pada jarak yang dekat.

"Kalau di sini boleh gak?" tanya Cakra sambil mengusap bibir bawah si gadis. Esther tersenyum lagi, lalu mengangguk.

Hal yang terjadi selanjutnya adalah bagaimana kedua belah tanpa tulang itu saling memagut dikejar detak jarum jam yang cemburu dan ditemani detak jantung yang menggila candu.

Keduanya berjalan beriringan di koridor setelah kegiatannya tadi selesai pada jam 7 kurang 5 menit. Seperti rencana awal, Esther akan ke kelasnya dulu lalu Cakra akan kembali dengan membawa roti dan yogurt. Sebenarnya gadis itu sudah menolak dan mengajukan agar membelinya saat jam istirahat saja. Karena, hey, bel bahkan sudah berbunyi.

Tapi Cakra tentu menolak, selain dia memang bucin tolol, dia juga tidak mau Esther lemas karena tidak sarapan. Jadilah tak apa terlambat masuk kelas, yang penting bintangnya tidak redup, katanya.

Ah iya, Esther dan Cakra beda kelas tapi satu jurusan, MIPA. Si gadis berada di kelas XII MIPA 5 sedangkan si lelaki di XII MIPA 2.

Karena saat jam pelajaran tidak ada yang menarik, maka mari kita percepat waktu hingga jam istirahat. Cakra, Esther, dan ketiga temannya--Nadin, Erwin, dan Ryan kini sudah duduk manis di kantin dengan mangkuk mi ayam masing-masing di depan mereka. Nadin satu kelas dan satu meja dengan Esther, dua lainnya itu teman karib Cakra yang juga menjadi teman Esther sejak mereka 'bersahabat'.

Rumpang [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang