“I’m okay, please stop it!”
Cakra menghela napas, lalu merebahkan tubuhnya pada ranjang si gadis. Setelah bercerita banyak hal bersama Erwin, ia memutuskan untuk pulang saja bersama sang kekasih. Karena memang tidak ada hal yang menarik. Sedangkan Nadin, Cakra tidak terlalu peduli. Lagi pula gadis itu sudah melakukan hal yang tidak pantas pada Cakra.
“Beneran?” tanyanya.
“Iya, Cakra!” jawab Esther dengan geram.
“Kalo gitu cium aku.” Gadis itu menatap tak percaya pada lelakinya.
“Kalo emang kamu gak apa-apa, sekarang cium aku.” Ia mengulangi.
“Pikiranmu itu cuman ciuman, ‘ya?” tanya Esther tak habis pikir.
“Pikiranku cuman kamu. Atas apa yang terjadi dan kamu bilang kalo gak masalah dengan hal itu, apa aku bisa percaya? Kamu bahkan ngambek berbulan-bulan waktu itu padahal aku cuman jalan sama dia—dan itu pun kamu yang minta,” ujar Cakra menggebu-gebu.
“Lalu yang seperti ini, kamu bilang bahwa kamu gak apa-apa? Coba jelaskan kenapa aku harus—“
‘Cup!’
“—percaya?” Kalimatnya terpotong oleh belah cherry Esther yang tiba-tiba melakukan tabrak lari terhadap belah pualam tak bertulang milik Cakra.
“Udah, ‘kan? Sekarang ayo ikut aku.” Gadis itu menarik pergelangan tangan lelakinya, membawa sang cucu Adam ke kamar mandi. Pikiran acak Cakra tiba-tiba buyar, kenapa pula gadisnya mengajak ia ke sini?
Esther mendudukkan Cakra di sebelah wastafel, membuat tinggi mereka setara. Gadis itu lalu mengambil kapas dan menuangkan micellar water di atasnya. Satu tangannya ia gunakan untuk memegangi dagu si lelaki, sedangkan tangan yang satunya untuk mengusapkan kapas tadi.
Setelah itu, ia meminta Cakra untuk turun dan membasuh wajahnya dengan pembersih. Setelah selesai, gadis itu mengelapnya dengan tisu. Keduanya masih diam, bahkan setelah Esther memakai lipstik merah pada bibirnya sendiri. Mereka lalu saling tatap dengan sorot yang berbeda. Esther yang menatapnya dingin dan Cakra yang masih bingung.
Gadis itu lalu mendekatkan wajahnya pada wajah si lelaki. Seperti layaknya menjelajah dunia, tak setitik pun wajah Cakra yang tidak tersentuh oleh bibir Esther. Lelaki itu bahkan hanya diam di tempat, antara menikmati dan juga mengamati apa yang sedang gadisnya lakukan.
Beberapa menit kemudian, Esther menjauhkan wajahnya. Ia tatap hasil lukisannya di wajah sang kekasih, gadis itu menyeringai dengan lipstik yang memudar dan sedikit meleber ke sudut bibir. Cakra masih diam, tangannya meraih lipstik yang tadi dipakai Esther, lalu memoleskannya pada bibir si gadis.
Tak menunggu sampai jarum jam bergeser posisi, tragedi penabrakan itu kembali terjadi. Sebuah kepura-puraan tidak akan bisa menutupi retakan hati yang terlanjur dikhatam. Mereka adalah pasangan yang pemersatunya adalah rumpang dan ragu, merembet pada hal bodoh bernama cinta dan sayang, lalu saling menguasai tanpa sadar.
Sebuah pukulan, tamparan, bentak yang tak sengaja. Semua itu kadang harus dilakukan. Esther adalah pencemburu, sedangkan Cakra adalah penyembunyi walau sekarang sudah mulai mahir mengungkap. Secara harafiah, mereka harusnya tidak cocok. Kata semesta, mereka terlalu rumpang untuk menjadi pasangan. Sedangkan kata mereka, semesta hanya cemburu karena keduanya terlalu lucu.
Tautan bibirnya terlepas, kendati tautan di hati masih terikat kuat. Keduanya beralih saling tatap dalam sorot yang sama—cinta. Ini terdengar sangat tidak cantik, penulisnya mungkin terlalu hiperbolis.
Dengan wajah Cakra yang penuh bekas kecupan dan sudut bibir Esther yang penuh lipstik—keduanya mengadu tawa. Hari ini cukup jenaka, sangat menggelitik hati. Harusnya sih tidak karena cerita fiksi ini sama sekali tak menjamah genre komedi. Cakra dan Esther, hanya ingin tertawa atas perannya di dunia. Kalau diingat, alurnya lucu juga.
“Sini aku foto, seluruh dunia harus tahu siapa yang boleh cium kamu.” Gadis itu tersenyum lebar, ia terlihat seperti Joker kali ini.
Esther lalu mengambil ponselnya, memotret sang kekasih yang tersenyum pasrah dengan lukisan cemburu di wajah. Cakra lalu tertawa, membuat Esther juga melakukannya. Lelaki itu lalu memeluk sang gadisnya, mengelus surai pirang tersebut, lalu mengecup lama puncak kepalanya. Cakra tahu, gadisnya sedang patah hati tapi juga sedang mencoba baik-baik saja.
“Aku gak mau menangis di hadapan kamu lagi, tapi aku lakuin itu.” Di tengah isaknya, ia menyuara.
“Lalu kamu mau menangis di hadapan siapa? Cowok lain?” candanya.
Keduanya lalu terdiam dalam posisi itu untuk beberapa saat. Sebentar lagi Jendra pulang, mereka akhirnya membersihkan wajah sebelum turun untuk makan malam. Sama seperti biasanya, hanya obrolan ringan di ruang makan. Sampai Cakra ingat tentang hal yang dibicarakannya dengan sang ayah kemarin malam.
Setelah mencuci piring dan kembali ke kamar so gadis, lelaki itu lalu meminta Esther untuk merebahkan tubuhnya di sofa dengan paha Cakra sebagai bantalnya. Ini posisi yang sering mereka lakukan, tapi Esther merasa berbeda. Air muka Cakra berubah bingung, seakan sedang memikirkan sesuatu yang penting.
“Ada apa?” tanyanya kemudian.
“Esther.” Gadis itu berdeham ketika kekasihnya memanggil.
“Katamu, patah terbesarmu itu ketika melihat bunda nangis karena kamu, ‘kan?” Kali ini Esther hanya mengangguk singkat.
“Berarti kalo aku pergi, kamu gak sepatah itu ‘kan?” Cakra tersenyum, menatap bintangnya yang menyorotkan kebingungan.
“Maksudmu?!” Gadis itu bangkit dari posisinya, menatap Cakra dengan sengit.
“Esther—“
“Kita baru saja ciuman hebat dan kamu— kamu bilang mau pergi?! What the fuck?!” Gadis itu menggebu-gebu.
“Dengerin aku dulu, sayang—“
‘Klek!’
“Cakra, Papamu telfon. Disuruh pulang, ponselmu mati ‘ya katanya?” Riani tiba-tiba membuka pintu dan menyampaikan informasi, memotong ucapan Cakra yang sudah di ujung lidah.
“Ah iya, Bunda. Aku lupa gak ngisi daya. Yaudah, aku pulang dulu ‘ya, Esther dan Bunda.” Lelaki itu tersenyum, meninggalkan Esther yang masih terdiam dalam keheranannya.
Apa-apaan lelaki itu?!
—Rumpang—
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumpang [✔]
Fanfic[R 15+] [COMPLETED] [●] Perayaan Patah Hati #1 ; Lee Haechan ft. Jeon Somi local fanfic. Kisah yang mereka rangkai bersama. Menyuara satu walau sebenarnya hati sedang ragu. Berseru padu walau harinya hampir selalu berseteru. Mereka yang memaksa teri...