Cakra menghela napas di depan rumahnya. Setelah libur sehabis PAS ia nikmati di rumah sakit bersama sang kekasih, lelaki itu berniat membicarakan sesuatu dengan sang ayah. Ditemani Esther, Cakra memegang gagang pintu rumahnya. Dibukanya pelan, menimbulkan decit pintu yang nyaring karena keadaan rumah yang sepi.
“Cakra, kamu sudah sembuh? Maaf, Papa sibuk di kantor, banyak dokumen yang harus diurus. Kamu—oh, Esther? Ayo duduk dulu, kamu mau minum apa?” Sebelumnya, Johnny tidak seperti ini. Dia biasanya dingin sekali, bicara hanya seperlunya saja.
“Gak usah repot-repot, pa. Nanti Esther bisa ambil sendiri.” Esther menjawab sambil menundukkan kepala.
“Yaudah, papa mau ke kamar dulu, ‘ya—“
“Papa, ada yang mau aku omongin.” Cakra memotong ucapan ayahnya yang hampir selesai, membuat pria itu berhenti dan menatap anak semata wayangnya dengan tatapan lembut—bukan kosong seperti biasanya.
“Iya, Cakra.” Pria itu duduk kembali di sofa. Setelahnya Cakra duduk di hadapan sang ayah, sedangkan Esther ke kamar Cakra karena bagaimanapun ini adalah obrolan keluarga, gadis itu merasa tidak enak kalau harus mendengarnya juga. Kendati dari kedua belah pihak tidak mempermasalahkan.
Cakra menghela napas untuk menetralkan gugupnya. Lelaki itu berdeham, lalu menatap sang ayah yang terlihat seperti habis menangis. Ah, kenapa ia baru sadar? Cakra lalu mengulum bibirnya sendiri, lidahnya tiba-tiba kelu untuk mengucapkan sepatah kata pun.
“Ada apa, sayangnya papa?” Suara bariton sedingin es itu tiba-tiba melembut bagai embun di pagi hari. Cakra tertegun, tiba-tiba hatinya sesak bergejolak ingin menangis.
“Papa, Cakra mau minta maaf perihal kejadian waktu itu. Maaf juga karena baru bisa bersimpuh sekarang. Soalnya—aku gengsi. Aku pikir kalo aku gak sepenuhnya salah. Maaf, papa.” Lelaki itu akhirnya menyuara.
“Iya, papa juga minta maaf. Papa gak pernah ngertiin kamu. Maaf, Cakra.” Kedua cucu Adam itu saling menunduk malu atas gengsi dan emosi masing-masing.
Cakra menghela napas. Masih banyak hal yang ingin ia bicarakan, hanya saja dia tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya agar tidak ada yang tersinggung antara ia juga ayahnya. Cakra tidak pandai berkata-kata perihal ini. Kalau soal cinta, mungkin bisa ditoleransi. Masalahnya, ia dengan sang ayah tidak sedekat itu.
“Pa, Cakra mau bimbel sama Esther saja. Les privatnya gak usah, ‘ya? Aku pengen sembuh, pa. Aku bosen,” ucapnya dengan suara bergetar.
Johnny terdiam dalam tundukkan kepalanya. Hari ini cukup melelahkan. Di kantornya tadi terdapat beberapa masalah, belum lagi saat makan siang bersama client—ia bertemu dengan sang mantan istri bersama dengan suami barunya—mungkin, dan sekarang—anak satu-satunya, Haidar Cakrawala—mengadu lelah pada raga yang masih dipenuhi resah juga gelisah.
Pria itu menghela napas, memejamkan matanya, juga berusaha menatap sang anak yang masih terlihat pucat. Wah, kenapa baru sekarang ia sadar bahwa anaknya amat lelah? Di mana saja ia dulu? Berkelana mencari pelarian patah hati ke mana saja sampai tidak menyadari kalau jantung hidupnya hampir redup?
Johnny belum menjawab, pria itu berdiri—Cakra kira ia akan ditinggalkan tanpa jawaban. Ternyata Johnny beralih duduk di sebelahnya. Mengusap surainya pelan dan menatap penuh sesal pada Cakra yang masih menaikkan alis karena bingung. Ini bukan ayahnya, tapi hatinya bahagia.
“Iya, Cakra. Mulai sekarang papa gak akan menekan kamu lagi. Sekarang papa gak akan nuntut kamu agar jadi juara kelas terus. Kamu udah jadi juara di hati papa. Makasih karena udah sabar, ‘ya? Papa minta maaf,” ucap Johnny dengan air mata yang menggenang di ujung mata.
“Papa belum bisa memaafkan masa lalu, maaf karena melampiaskan lukanya ke kamu.” Pria itu menunduk, bahunya bergetar.
Cakra terdiam, memeluk ayahnya dengan pandangan kosong. Otaknya membeku untuk memproses semua ini. Cakra memang mengharapkan ini, tapi bukankah terlalu tiba-tiba? Rasanya agak aneh walau relung hatinya berteriak gembira.
“Cakra sayang papa, jangan nangis, pa.” Lelaki itu menepuk pelan punggung ayahnya. Diam-diam menangis juga entah untuk alasan apa. Terlalu banyak resah, terlalu dalam luka, sudah terlalu semuanya. Tangisan Cakra dan Johnny, tidak diketahui konteks jelasnya apa.
Beberapa menit mereka habiskan dengan saling berpelukan sambil menangis. Sang ayah mendongak, menatap anaknya dan menghapus jejak air mata di sana. Pria itu tersenyum sambil mengusak surai Cakra—membuat Cakra tersenyum juga. Johnny jarang sekali tersenyum tulus seperti ini, ia senang.
“Papa kerja dulu, ‘ya? Kalau mau pacaran, gak usah mikirin belajar dulu.” Pria itu tersenyum makin lebar. Ternyata manis juga senyuman ayahnya.
“Iya, pa. Papa juga semangat kerjanya, jangan kecapekan,” timpal si anak.
Keduanya berdiri, Johnny memeluk raga anaknya sebentar sebelum akhirnya pergi ditelan pintu utama. Cakra menghela napas lega. Entah kenapa rasa di hatinya tiba-tiba menjadi sedikit ringan. Lelaki itu lalu beranjak ke kamarnya. Membuka pintu perlahan, terpampang sang kekasih yang sedang merebahkan diri di ranjang. Gadis itu terduduk, lalu buru-buru menghampiri Cakra.
“Gima—“
Bruk!
“—na.”
Cakra tiba-tiba menjatuhkan dahinya ke bahu Esther. Memeluk tubuh ramping sang kekasih, lalu menenggelamkan wajahnya di perpotongan leher Esther. Gadis itu membalas pelukan Cakra sambil mengelus pelan punggung rapuh kekasihnya itu.
“Papa nangis, karena aku,” ucapnya pelan.
“Bodohnya aku nangis juga,” lanjutnya.
“Kalau aku nangis lagi di bahumu, boleh gak?” Lelaki itu mendongak, menatap Esther dengan aksa yang berkaca.
Gadis itu menatapnya dalam, mengelus surai kusut si lelaki, lalu mengangguk sebagai jawab atas tanya yang tadi dilayangkan. Cakra lalu menjatuhkan dahinya di bahu Esther, menumpahkan patah juga bahagia di sana. Cakra sendiri juga lagi-lagi tidak paham, apa yang ia tangisi sebenarnya. Patahnya yang sembuh, atau luka ayahnya yang baru saja diadu.
Teruntuk bahu sempit berbalut kaos oblong milik Esther Soraya, maaf karena harus basah terkena hujan air mata dari Haidar Cakrawala.
—Rumpang—
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumpang [✔]
Fiksi Penggemar[R 15+] [COMPLETED] [●] Perayaan Patah Hati #1 ; Lee Haechan ft. Jeon Somi local fanfic. Kisah yang mereka rangkai bersama. Menyuara satu walau sebenarnya hati sedang ragu. Berseru padu walau harinya hampir selalu berseteru. Mereka yang memaksa teri...