[15] Bertaut

119 29 2
                                    

[Sangat dianjurkan untuk play lagu 'Bertaut', aku patah hati sekali saat menulis chapter ini. Semoga emosiku bisa dirasa oleh para pembaca juga]

****

Cakra menatap lurus raga yang ditinggal nyawanya itu dengan tatapan kosong. Dadanya sesak walau udara masih gratis. Hatinya sakit ingin menjerit, tapi aksanya sulit mengalami lakrimasi. Sudah hampir setengah jam ia duduk termenung di sini.

Setelah pulang dari tempat balapan, besoknya Cakra berangkat ke sekolah. Baru sampai jam pelajaran ketiga, ia menerima panggilan telepon dari sang ayah. Pria itu diam beberapa menit hingga akhirnya mengeluarkan suara yang parau. Segera saja lelaki itu meminta izin ke BK dan melajukan motornya menuju ke rumah sakit. Cakra bahkan lupa mengabari Esther sampai detik ini.

“Cakra, ayo keluar.” Suara parau sang ayah menyapa. Lelaki itu hanya diam, masih setia menatap raga sang ibu yang telah tertutup kain putih—bahkan saat ia ditarik paksa oleh Johnny.

Kedua cucu Adam berbeda usia itu terduduk lemas di depan. Sama-sama memusatkan atensi pada ruang inap Hairani yang telah kosong karena jasad wanita itu telah dipindahkan. Cakra menghela napas, ia teringat bagaimana kemarin membawa sang ibu jalan-jalan sebentar, menyuapinya, dan mengantarnya ke kamar mandi.

Lelaki itu menengadahkan kepala saat dirasa tiba-tiba akan menangis. Tangannya mengusap kasar wajah lusuhnya. Ia lalu menghela napas lagi, memejamkan mata dan tidak sengaja mengalami lakrimasi. Dadanya sakit sekali, sesak sekali, ingin menangis tapi gengsi.

“Cakra, ada surat untuk kamu. Dari mendiang mama,” ucap Johnny sambil menyerahkan sebuah amplop putih dengan tiba-tiba.

Cakra hanya menerimanya, lalu meletakkan benda itu ke kantung jaket dan kembali meratapi kepergian sang ibu yang sedang menjadi kabung di hatinya maupun hati Johnny. Harusnya rasa ini tidak timbul karena tertimbun rasa benci dari masa lampau. Harusnya.

“Ayo pulang, Cakra.” Ayahnya berdiri, punggungnya masih tegap walau hatinya hancur berkeping-keping.

Cakra mengangguk, ikut berdiri dan melangkah di belakang ayahnya. Keduanya menyusuri koridor rumah sakit dengan langkah berat dan kepala tertunduk sedih. Sesampainya di basement, Johnny dan Cakra memasuki mobil—lalu sang ayah mulai melajukannya menjauhi pekarangan rumah sakit.

Jalanan kota yang sedang padat di bawah teriknya sang surya, terasa begitu kosong bagi mereka yang semestanya sudah mati. Tatapan Johnny kosong lagi, tersorot luka yang dalam hingga siapa pun yang sengaja atau pun tidak bertemu tatap dengan dia—akan tenggelam dalam duka yang sama.

Sesampainya di rumah, keduanya turun dari mobil dan masuk ke kamar masing-masing tanpa bertukar ucapan barang satu kata. Johnny yang langsung mandi dan tertidur dalam selimut kabung, lalu Cakra yang lebih memilih duduk di sofa kamarnya—menekuk lutut dan membaca surat dari mendiang Hairani.

Kurang lebih isinya begini ;

‘Halo, Haidar! Sebelumnya maaf karena manggil kamu dengan nama itu. Soalnya mama suka. Haidar, Hairani – Darwin. Arti nama kamu itu sebenarnya adalah langitnya Hairani dan Darwin, langitnya mama dan papa.

‘Haidar, mama gak akan bosen minta maaf soal ini. Di mana dulu mama ninggalin kamu dan papa. Maaf, Haidar. Waktu itu mama abis didiagnosis mengidap tumor otak. Mama cuman takut kalau nanti nyusahin kalian, jadi mama pergi saja.

‘Haidar sayang, anak mama yang paling indah, bahagia selalu ya? Sebenarnya mama pengen peluk kamu, tapi kayaknya kamu enggan. Mama juga pengen dipanggil kamu, dipanggil dengan sebutan ‘mama'.

Rumpang [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang