Bab 2

863 139 20
                                    

Kedua gadis berbeda warna rambut itu tengah berselonjor sembari memukul berulang kaki yang terselimuti high heels hitam. Matahari di luar semakin terik, namun mereka tak kepanasan sama sekali karena berada di dalam ruangan berpendingin. Ruangan istirahat khusus untuk para pramuniaga.

"Kakiku pegal sekali, rasanya lebih pegal di banding ke sana kemari mencatat pesanan pelanggan," keluh Hinata.

Menjadi pramuniaga ternyata tak semudah yang ia pikirkan. Nyatanya berdiri berjam-jam dengan sepatu berhak tinggi lebih pegal dibanding ia bekerja sebagai pelayan di restoran yang selalu penuh dengan pengunjung. Berbeda dengan di butik ini, butik yang terkenal dengan kualitas produk dan harga yang selangit membuat tidak sembarangan pengunjung yang datang. Selama berjaga 4 jam tadi, hanya hitungan jari pengunjung yang datang.

Namun ketua lebih sibuk dari yang ia pikirkan, jumlah klien yang datang menemuinya lebih banyak dari jumlah pengunjung yang datang untuk berbelanja. Ia rasa klien tersebut dari salah satu crew TV dan beberapa manajer artis. Terlihat dari mobil fan yang mereka kenakan dengan lambang salah satu stasiun televisi. Hal tersebut sudah biasa mengingat brand purple sering dipakai untuk sebuah ajang bergengsi atau pun sponsor untuk dunia per-film-an.

"Nanti juga kau akan terbiasa," Amaru terkekeh kecil melihat wajah Hinata yang cemberut. "Katanya mau menunjukkan pada ketua dan manajer."

Semangat Hinata kembali membara, ia mengepalkan kedua tangan ke udara, "Kau benar, aku tidak akan mengeluh hanya karena rasa pegal yang tak seberapa ini."

"Memang seharusnya seperti itu ..." mereka saling melempar senyum penyemangat, "yuk kita makan sekarang! Aku sudah lapar." Amaru mengusap perut rampingnya yang mulai keroncongan. Hinata terkekeh kecil, lantas mereka memakan bekal bersama.

Sementara disudut lain, tiga orang gadis tengah berbisik-bisik dengan mata yang tak lepas menatap Hinata dan Amaru.

"Apa bagusnya dia sih? Kenapa ketua sampai meloloskan dia yang jelas-jelas tidak kompeten di hari pertama?" ujar Mabui si gadis eksotis. Dulu ia pernah terlambat satu kali langsung kena skors, itu pun karena ia berotak cerdas, mampu menggaet pelanggan untuk selalu datang kembali.

"Tinggi ... standar, bahkan ketika pakai high heels dia tidak mampu menyaingi Pakura yang tak memakai high heels. Tampang ... jauh dari kata cantik, potongan rambutnya seperti anak SMA dengan poni lurus seperti itu. Aku tak habis pikir."

Ah sial, dilihat dari sudut manapun dia terlihat menawan, imut seperti gadis SMA, dia makan apa bisa berwajah awet muda begitu?

Nyatanya pikirannya tidak sesuai dengan ucapan yang terlontar. Dilabeli sebagai si imut yang menggemaskan di butik, Haruna merasa tersaingi dengan adanya Hinata.

"Sudahlah, nanti dia kesenengan karena kalian perhatikan." Pakura merasa gadis itu bukan ancaman yang cocok untuknya. Ia dilabeli sebagai si cantik menawan. Dengan ketinggian dan keseksiannya tidak ada yang dapat menandingi kecuali sang CEO.

.

"Kau sudah selesai?" Amaru menoleh ke arah Hinata sembari mengancingkan baju teratasnya. Selanjutnya ia mengenakan sweater berwarna biru muda sebagai luaran.

"Sudah, tapi maaf sepertinya aku tidak bisa pulang bersamamu ... ada seseorang yang harus aku temui." Hinata mengucapkannya dengan ragu, ia tidak ingin mengecewakan Amaru yang sudah sangat baik kepadanya.

Amaru tersenyum geli, ia lantas menepuk-nepuk bahu Hinata, "Aku geli melihat tingkahmu seperti itu. Tidak Hinata sekali."

Hinata menggaruk-garuk pipinya, "Memangnya aku biasanya seperti apa?"

"Jangan pura-pura polos, kau lupa sudah meninggalkanku di rumah hantu tanpa meminta maaf, padahal kau tahu jelas aku sangat takut." Amaru mencebik kesal mengingatnya, Hinata memang selalu jahil kepadanya. Dan itu bukanlah hal yang aneh, mereka sudah sangat dekat sejak di bangku SMA.

You got meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang