Bab 19

420 85 4
                                    

"Maaf aku tidak pernah mengunjungi ayah dan ibu. Itu bukan kehendakku ... aku sangat merindukan ayah dan ibu." Isak tangis tak dapat tertahan hingga Naruto tak sanggup lagi berkata-kata.

Di altar kuil itu, Hinata hanya bisa menyaksikan betapa rapuhnya seorang anak yang sudah terenggut kebahagiaannya. Isakkan tangis itu begitu menyayat hati siapa pun yang mendengarnya. Tiada kata perkenalan seperti apa yang sebelumnya mereka rencanakan. Karena kepedihan yang jelas terasa itu, hanya mampu membuat Hinata bungkam, pun turut berderai air mata.

.

Ponsel di tangan Hinata menampilkan novel kesukaannya dari salah satu platform online. Tiada waktu yang terlewatkan untuknya membaca itu, tapi tidak sekarang ini. Tangannya setia memegang ponsel, tapi tatapannya tak teralihkan dari pria yang sedang menonton TV di sampingnya.

"Katakan saja." Naruto berucap seraya menyampingkan badannya agar dapat melihat Hinata dengan jelas.

"Eh?"

"Wajahmu tidak bisa berbohong."

"Ah, begitu ya ..." Hinata menggaruk pipi yang tidak gatal, ia tidak menyangka jika Naruto mampu membaca pikirannya.

"Apa aku sangat tampan sampai kau tak berkedip seperti itu?" Gurau Naruto agar Hinata merasa nyaman untuk mengungkapkan isi pikirannya. Sesungguhnya Naruto tahu betul Hinata memperhatikannya sedari tadi, karena Naruto pun tak benar-benar menonton. Sejak tadi, ia hanya melamun.

"Iya ..." Hinata mengangguk, lantas segera menggeleng, "... eh, bukan begitu."

Naruto terkekeh ringan, lantas menggenggam tangan Hinata, "Apa yang mengganggu pikiranmu?"

"Eumm itu ..."

"Kau takut setelah tahu kalau aku itu pembunuh?"

"Eh, bukan begitu. Aku tahu kau tidak melakukannya. Lagi pula aku sudah berjanji untuk percaya padamu kan?!"

Naruto tersenyum tipis, hatinya merasa lega karena Hinata tidak terpengaruh ucapan sang bibi. "Kalau begitu apa?"

"Aku hanya penasaran, apa yang terjadi padamu selama ini? Kenapa mereka sampai bersikap begitu padamu? Padahal kau kan keluarga mereka, tapi kenapa mereka begitu kejam padamu?" Kini, sebelah tangan Hinata mengusap-usap pipi Naruto, "Kau tahu? Hatiku sangat sakit melihatmu diperlakukan tidak adil seperti itu. Hampir saja aku tidak bisa menahan diri untuk mencakar wajah mereka kalau tak mengingat jika mereka adalah keluargamu."

Hati Naruto menghangat, kini dirinya merasa lebih baik dari sebelumnya. Digenggamnya tangan Hinata yang berada di pipinya lalu diciumnya dengan lembut, "Terima kasih. Entah kebaikan apa yang aku lakukan di masa lalu hingga aku mendapatkan gadis sebaik dirimu ... Apa kau tidak akan menyesal mendengarnya?"

Hinata merasa terenyuh dengan perlakuan Naruto, membuat ia semakin yakin jika Naruto bukanlah pria yang dituduhkan oleh bibinya. Semakin ia yakin, semakin penasaran pula ia tentang masa lalu Naruto. "Justru sebaliknya. Aku akan sangat menyesal jika tidak mengetahui semua tentangmu."

Bergeming sejemang, lalu Naruto menggenggam tangan Hinata lebih erat. Butuh keberanian besar untuk mengungkapkan masa lalu yang telah lama terkubur rapat-rapat dan ini adalah kali pertama ia menceritakan kisah hidupnya yang pahit pada seseorang. "Dulu aku merasa hidupku sangat bahagia hingga berpikir tidak akan pernah ada rasa sakit yang ku rasakan. Orang tuaku, nenek hingga bibi, mereka semua begitu menyayangiku. Aku ingat sekali dulu nenek memarahi ayah karena aku terjatuh ketika bermain dengan ayah. Dan akibat itu pula, semua orang turut menyalahkan ayahku. Padahal itu salahku yang tak mendengarkan kata ayah. Waktu itu aku terlalu senang karena bisa bermain bebas dengan ayah setelah ayah bekerja hingga tak pulang dalam waktu satu bulan."

You got meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang