Bab 18

558 95 9
                                    


Dari sekian banyak tempat yang ada di dunia, rumah adalah tempat ternyaman bagi kebanyakan orang. Di rumah, kita akan disambut hangat oleh keluarga. Makan bersama, bergurau bersama, hingga mengerjakan pekerjaan rumah bersama terasa menyenangkan.

Namun, tidak bagi Naruto. Semenjak kecil, rumah baginya hanya sekedar tempat tinggal. Tak ada kehangatan yang diterima dari anggota keluarganya. Padahal yang tinggal di kompleks itu terdiri dari Nenek hingga bibinya. Ya, keluarga besar Namikaze tinggal dalam satu kompleks.

Sedari kecil hidupnya sudah dikutuk untuk tidak bahagia. Semua orang bersikap tak acuh--termasuk sang ayah--karena menganggap dirinya penyebab sang ibu--Kushina--meninggal. Jika Naruto kecil kali itu tidak merengek untuk dibelikan mainan, Kushina tidak akan tertembak tepat di depan matanya. Karena kejadian itu pula, dirinya diasingkan ke rumah kerabat di salah satu pulau terpencil.

Beberapa tahun berlalu, akhirnya sang ayah--Minato--mampu menerima kenyataan. Entah apa yang membuatnya tersadar, Naruto tak tahu. Namun apa pun alasannya itu, Naruto tetap bersyukur dengan perubahan sang ayah.

Minato menunjukkan keseriusannya dengan mengajak Naruto remaja tinggal bersama. Awalnya Naruto enggan untuk kembali ke kediaman Namikaze, tapi Minato menegaskan bahwa mereka hanya akan tinggal berdua jauh dari kediaman Namikaze. Minato menegaskan jika dirinya ingin menebus waktu yang selama ini telah disia-siakannya bersama Naruto. Setelah berpikir sejenak, Naruto menyetujuinya dan mereka tinggal berdua di Okinawa.

Naruto bahagia? Sangat.
Berhubungan baik dengan sang ayah merupakan impiannya. Di sisi lain, setidaknya ia bisa terhindar dari tatapan sinis keluarga lain.

Namun sayang, kebahagiaannya tak berlangsung lama karena setelah dua tahun bersama, Minato pergi menyusul Kushina dengan cara yang sama.

Kejadian yang berulang membawa kisah yang dulu berusaha dikuburnya kembali menapaki tanah. Rasa hampa dan goresan luka dari keluarganya kembali menggerogoti hatinya. Ia kembali disalahkan atas kematian orang tuanya.

Apa semua ini memang salahnya? Atau mungkin mereka hanya butuh orang untuk di salahkan? Bukankah kebanyakan orang seperti itu? Menuduh orang lain salah untuk menutupi kesakitannya?!

Dan yang lebih menyakitkan entitas dirinya seakan tak ada. Mereka mengabaikannya secara terang-terangan. Bukankah penolakan dari keluarga lebih menyakitkan dari apapun?

Semenjak itu, Naruto memutuskan untuk menyelamatkan hatinya dengan cara memutus hubungan dengan keluarga besarnya. Meninggalkan kediamannya tanpa diketahui oleh siapa pun, hingga tanpa sadar langkahnya terhenti di Kyoto. Ia memutuskan hidup mandiri di Kyoto sampai akhirnya membuat usaha bersama ketiga temannya. Tentu dengan tak lupa menanggalkan marga Namikaze dan berganti menjadi marga sang ibu--Uzumaki--yang memang sudah tidak memiliki kerabat sedari kecil. Setidaknya dengan mengganti nama, tidak akan ada orang yang mengenalinya.

.

.

"Kau ingat rumah ternyata!?" Sarkas wanita tua yang masih terlihat cantik.

Minami adalah ibu dari Minato. Beliau juga kepala keluarga di keluarga Namikaze semenjak sang kakek meninggal dunia. Tak ada yang berani membantah perintahnya. Semua yang diucapkannya bersifat mutlak. Wajib dipatuhi. Termasuk membuat Naruto sebagai penyebab dari meninggalnya kedua orang tuanya.

"Aku hanya ingin menemui ayah dan ibu lalu pergi." Naruto menjawab apa adanya, karena tujuan ia kembali hanya untuk mengenalkan Hinata kepada kedua orang tuanya. Jika bukan karena itu, ia juga enggan untuk kembali ke kediaman Namikaze.

"Apa kesopananmu hilang karena hidup seorang diri?" Sebagai yang tertua Minami enggan mendapat perlakuan kasar dari orang dibawahnya, walaupun semua itu memang berawal karena dirinya. Harga dirinya cukup tinggi. Itu yang Naruto tangkap selama hidup bersama sang nenek.

You got meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang