Naruto sudah bersiap untuk pulang. Jaket dan helm sudah ia kenakan, bahkan dirinya sudah menunggangi kendaraan kesayangannya. Tetapi atensinya teralihkan pada Amaru yang mondar-mandir seraya menatap cemas ponsel miliknya. Entah kenapa hatinya merasa terpanggil untuk menghampiri Amaru. Barangkali ada hal yang bisa dibantu dan sekalian mengucapkan maaf atas perlkuannya tempo hari.
"Apa ada masalah? Dan maaf tempo hari aku langsung pergi begitu saja."
Amaru terperanjat, ia lantas menoleh. "Naruto? Aku sudah tidak mempermasalahkan hal itu. Aku hanya sedang mencemaskan Hinata."
"Hinata?"
"Iya. Aku punya janji temu dengannya sepulang bekerja, tapi ada hal mendesak di butik untuk persiapan ulang tahun lusa. Aku mau mengabarinya, tapi tak ada jawaban. Apa kau mau membantuku memberikan kabar jika aku tidak bisa? Tempat tinggalmu satu arah dengannya kan?"
Naruto turut merasa cemas, tapi di sisi lain ia juga teringat akan janjinya pada Hinata untuk tidak menemui gadis itu. "Maaf, sepertinya aku tidak bisa membantu. Maksudku, aku mau membantu, tapi apa Hinata mau mendengarku? Melihat aku saja dia tidak mau."
"Pantas saja aku merasa ada yang aneh dengan sikap kalian."
"Ya begitulah."
"Tapi aku khawatir jika terjadi sesuatu pada Hinata. Tidak biasanya dia mengabaikan panggilanku, padahal terakhir berbagi pesan dia bilang tak ada acara apa pun selain tiduran di rumah. Kalau begitu, harusnya dia mengangkat teleponku kan? Perasaanku juga tidak enak."
Naruto bergeming sejenak, hingga akhirnya memutuskan untuk mengambil resiko. "Aku akan cek ke rumahnya. Kau bisa bekerja dengan tenang sekarang."
"Terima kasih. Jika terjadi sesuatu, langsung hubungi aku."
Naruto mengerti kekhawatiran Amaru mengingat hubungan mereka begitu dekat. Maka Naruto berikan sebuah anggukan beserta senyum tipis untuk meyakinkannya. "Percayakan padaku."
Dilihat dari sikap Amaru kepadanya, Naruto yakin jika Amaru belum mengetahui akar permasalahan antara dirinya dengan Hinata, pun penyebab gadis itu keluar dari butik.
Ah, jika mengingat ucapan Pakura tadi siang, Naruto merasa sangat kecewa pada Ino. Haruskah Ino bertindak sejauh itu?
...
Hinata takut?
Sungguh dia sangat takut dengan keadaan yang tidak menguntungkannya sama sekali, tapi setitik harapan dirasakan ketika atensinya jatuh pada ponsel pintar di atas ranjang.Walau air mata sempat luruh, tapi Hinata berusaha untuk kembali berpikir jernih mengesampingkan ketakutannya pada pria cungkring yang masih setia membekap mulutnya seraya mengendus bagian leher.
Menutup mata erat sejenak, lalu membukanya kembali ketika ia terpikirkan satu hal. Mungkin dia bukan seorang ahli bela diri, tapi dengan ini dia pastikan pria itu akan lengah untuk sementara waktu.
Ia teringat pesan sang ayah, "Jika ada pria yang berusaha membahayakanmu, maka tendanglah miliknya. Karena itu bagian kelemahannya."
Dengan sekuat tenaga Hinata menyerang aset terpenting bagi seorang pria menggunakan lututnya. Dan benar saja, Sanji sontak menjauh, mengaduh kesakitan seraya memegang benda keramat miliknya.
"Sialan."
Tak ingin buang waktu, Hinata berlari menuju kamar lalu mengunci pintunya. Di rasa tidak cukup, matanya memindai apa yang bisa di jadikan sebagai penghalang. Sebuah meja rias menjadi pilihannya untuk menahan pintu itu.
Mundur beberapa langkah hingga terantuk ranjang yang membuatnya terduduk di atas ranjang. Hinata tersentak, pikirannya langsung tertuju pada ponsel yang sedari tadi bergetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
You got me
FanficNaruto seorang valet parking yang tertarik pada seorang pramuniaga dalam pandangan pertama. Ia berusaha untuk terus mendekatinya dengan berbagai cara. Namun, ada hal yang menghambatnya ketika seorang anak kecil datang dengan memanggilnya 'Papa' dan...