Sunyi senyap bagai kuburan, itu hal yang pas untuk menjabarkan suasana di kediaman gadis Hyuga. Setelah insiden teriakan Hinata yang menggema, Naruto menampakkan diri dengan masih bertelanjang dada dan seketika Hinata jatuh pingsan dibuatnya.
Anggaplah Hinata berlebihan, dirinya baru pertama kali mengalami hal seperti ini 'tidur bersama'. Selama ini ia disibukkan dengan bekerja, bekerja dan bekerja. Hingga tanpa sadar ia tak pernah berurusan dengan seorang lelaki dalam konteks pasangan kekasih. Bahkan diumurnya yang sudah 26 tahun ini, hanya hitungan jari teman lelakinya. Ingat! Hanya teman.
Lalu sekarang bagaimana? Apa yang harus ia lakukan dalam situasi rumit ini? Bahkan ia sama sekali tak mengingat apa yang terjadi semalam setelah mabuk berat. Hinata komat kamit dalam hati, ia merutuki bir kalengan yang telah membuatnya mabuk. Hey bukankah Naruto sudah mengingatkannya agar tak terlalu banyak minum? Ok, kalau begini Hinata akui dialah yang salah.
Naruto sendiri? Pria itu tengah berpikir sekuat tenaga apa yang sebenarnya terjadi. Hanya ada beberapa potongan adegan yang ia ingat, selebihnya lupa. Lupa karena menyusul Hinata yang mabuk. Iya ... dia juga mabuk berat hingga melupakan potongan penting dari kejadian semalam. Coba kalau mengingatnya, ia pasti akan senang karena dapat memiliki Hinata seutuhnya.
Eh?
Naruto menggeleng mengenyahkan pikiran biadabnya yang terakhir itu. Ia masihlah waras. Jika ingin memiliki Hinata, ia harus berusaha keras. Berusaha dalam meyakinkan diri sendiri dan tentunya meyakinkan Hinata untuk mau menerimanya yang penuh cacat. Cacat secara mental.
"Apa kau tidak ingat?" Akhirnya Naruto buka suara setelah sedikit mengingat apa yang terjadi semalam.
Hinata menggeleng lamban dengan kepala tertunduk. Bahkan kecerewetan yang selama ini ia tunjukkan pagi ini bak hilang di telan bumi.
"Kau tidak ingat telah bercerita masa lalumu?"
"Masa lalu?" Hinata membeo.
Naruto mengangguk pasti, sejurus kemudian ia menceritakan apa yang masih diingat otak kecilnya. "Eumm.. begini ....
"Aku senang berada di dekatmu, kau selalu ceria. Pasti kau tak memiliki masalah di hidupmu," ujar Naruto yang mulai melantur.
Hinata menggeleng seraya menyimpan kaleng bir di atas meja. "Kau salah ... aku berusaha seceria mungkin agar orang lain tak dapat melihat kesedihanku. Bukankah tidak sopan jika kita murung dan terus mengeluh masalah yang kita miliki pada orang lain sedangkan kita tidak tahu mungkin saja orang tersebut memiliki masalah yang lebih besar dari kita? Aku hanya tidak ingin terlarut dalam kesedihanku. Aku ingin semua orang senang berada didekatku, tanpa mengasihaniku."
"Setiap orang memiliki masalah dalam hidupnya, entah berat atau tidak tergantung kita menjalaninya. Aku yakin kau juga memiliki masalah, hanya kau pintar menyembunyikannya." Hinata menunjuk Naruto tepat di hidung mancungnya, Naruto bergeming karena apa yang dituduhkan Hinata benar adanya.
"Aku nyaris ingin bunuh diri ketika masih di SMA. Ayahku mati meninggalkan utang begitu banyak, tapi aku juga tak bisa menyalahkannya. Ayah meminjam uang untuk berobat ibu yang sakit keras. Kanker ... kanker payudara yang diketahui ketika kanker itu sudah tumbuh di stadium 3. Biayanya cukup mahal, sedangkan gaji ayahku sebagai pegawai swasta tak dapat menjamin segalanya." Naruto bergeming dan Hinata mulai bercerita dengan suara parau.
"Setelah ayahku mati kecelakaan, ibuku menjadi tak memiliki gairah hidup. Semangatnya untuk sembuh memudar hingga nyaris tak ada. Aku ... aku hanya bisa bekerja sambilan ke sana kemari karena aku masih pelajar. Mungkin karena tak ingin membuat putri semata wayangnya menderita mencari biaya pengobatan, ibuku menjadi menyerah. Menyerah dalam hidupnya. Kata menyerah begitu mengerikan karena dapat mempengaruhi psikis dan fisiknya. Kankernya semakin menyebar dengan cepat." Hinata menatap kedua telapak tangannya, "Aku telah membunuh ibuku..." Naruto tersentak, namun ia tak membuka suara dan menunggu apa lagi yang akan di ucapkan gadis tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
You got me
FanficNaruto seorang valet parking yang tertarik pada seorang pramuniaga dalam pandangan pertama. Ia berusaha untuk terus mendekatinya dengan berbagai cara. Namun, ada hal yang menghambatnya ketika seorang anak kecil datang dengan memanggilnya 'Papa' dan...