-11- BUTTERFLY EFFECT

151 55 92
                                    

Pagi pertama di hari senin, matahari pagi ini begitu cerah. Shea sedang bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Mempersiapkan semua perlengkapan seragam agar tidak di hukum saat upacara nanti karena atribut yang tidak lengkap. Shea ini termasuk siswa yang jarang melanggar aturan sekolah.

Shea mencak-mencak kesal, perutnya sangat sakit karena datang bulan. Memang selalu seperti itu, setiap datang bulan hari pertama selalu menyiksa karena sakit di perutnya.

Shea beranjak menuruni anak tangga dan menghampiri kedua orang tuanya yang sudah duduk rapi di meja makan.

"Pagi." sapa Shea tersenyum kemudian duduk di depan sang Ayah.

Sean dan Amanda menjawab dengan senyuman. Amanda langsung memberikan roti tawar yang sudah dia oles oleh selai coklat dan keju kesukaan anak gadisnya itu.

"Makasih, Mah." ucap Shea saat roti sudah berada di depannya.

Amanda mengangguk sambil tersenyum, "Makan," jawabnya.

Shea langsung meraih roti tersebut, sambil mengunyah dia melihat ke sekeliling rumahnya mencari seseorang yang tidak terlihat pagi ini.

"Abang dimana, Mah?" tanya Shea setelah tahu Abangnya tidak hadir ikut sarapan.

"Abangmu udah berangkat tadi pagi banget, katanya harus ngurusin tugas kuliahnya." jawab Amanda. Shea manggut-manggut saja tidak ingin tahu lebih jauh. Shea takut Papa nya akan kembali kumat.

"Tuh liat Abangmu. Pagi-pagi sekali udah berangkat, dia rajin gak kayak kamu. Coba ikutan jejak Abangmu itu,"

Baru saja Shea mengkhawatirkan hal tersebut, sekarang Papa nya kembali membanding-bandingkan. Shea menunduk tidak ingin menatap Sean. Roti yang ia pegang di simpan kembali ke piring, mood makannya sudah hilang padahal itu adalah roti kesukaannya. Tangannya meremas rok sekolah untuk menahan segala sesak di tubuhnya.

Hal yang paling benci Shea dengar saat Sean mengatakan 'Gak kayak kamu.' memangnya Shea harus seperti apa? Mengikuti semua apa yang Abangnya bisa? Itu tidak mungkin. Setiap anak memiliki kemampuan masing-masing. Ingin sekali Shea mengatakannya tapi dirinya tidak begitu berani.

"Shea harus seperti apa agar dibanggakan Papa juga? Nilai dan peringkat Shea di sekolah apa tidak cukup bagi Papa untuk menghargai usaha Shea?" Shea berbicara dalam batinnya sambil menahan air mata turun ke pipinya.

Ah baru saja Shea menahan sakit di perutnya, sekarang harus menahan rasa sesak di hatinya. Sebegitu rumitnya hidup Shea. Keluarga yang katanya tempat kamu pulang justru bagi Shea itu adalah neraka. Keluarga tempat dia pulang hanyalah teman-temannya saat ini, yang selalu siap menghibur, dan yang paling penting tidak meninggalkannya saat keadaan seperti ini.

"Pah udah, jangan kayak gitu." ucap Amanda berusaha menenangkan suaminya. Dia takut Shea akan membenci Papa nya sendiri karena terlalu sering dibandingkan.

Seakan tuli, Sean terus berucap membuat Shea semakin sesak, "Kamu itu kebanyakan bergaul sama cowok-cowok itu jadi kayak gini. Jauhi mereka dan mulai fokus sama masa depan kamu, Shea."

Shea semakin erat meremas roknya. Perlahan kepalanya mendongak menatap Sean. Shea paling tidak suka jika teman-temannya di bawa-bawa dalam masalahnya.

"Temen Shea emang cowok semua tapi mereka memperlakukan Shea layaknya perempuan yang harus dijaga, ngga kayak Papa yang selalu membandingkan anaknya. Papa gak berhak menyuruh Shea untuk menjauhi mereka. Shea berhak mencari teman sesuai keinginan Shea." ucap Shea menatap tajam ke arah Sean.

Untuk sekarang dia tidak peduli jika Sean marah, Shea tidak suka teman-temannya di pandang sebelah mata oleh orang tuanya. Padahal yang berteman mereka, Shea yang paling tahu bagaimana sifat teman-temannya.

S E N J ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang