Gue gak salah denger kan? Dea cinta sama Soya? Masa sih? Atau maksudnya, cinta sebagai sahabat, gitu?
"Gue udah berusaha buat nunjukin rasa itu tanpa harus ngasih tau lo secara langsung. Tapi gue sadar, gak seharusnya gue kayak gini. Karena, emang bukan gue orang yang tepat buat lo. Tapi, Dian. Jadi lebih baik, lo gak usah tau tentang perasaan gue."
Gue ngehela nafas, dan jalan ngejauh dari pintu. Tujuan gue ke sini buat nanyain soal game itu, kayaknya gue batalin. Toh gue udah dapet jawabannya.
Selain ngejauhin pintu, alangkah lebih baiknya kalo gue jauhin mereka, terutama Soya. Dea gak seharusnya ngorbanin perasaannya itu demi gue. Lagipula, Soya lebih seneng kalo bareng sama Dea ketimbang gue. Kenapa bisa-bisanya, Dea nyimpulin kalo gue orang yang tepat buat Soya? Udah jelas-jelas, Soya gak akan pernah suka sama gue. Dia yang lebih tepat. Dia lebih tau tentang Soya. Dia lebih dulu kenal sama Soya ketimbang gue. Intinya, dia lebih pantes daripada gue yang cuma dateng buat gangguin Soya. Perjuangan Dea lebih jelas ketimbang perjuangan gue yang cuma modal gombal gak jelas. Gue gak ada apa-apanya dibanding Dea. Dan gue yakin kalo Soya suruh milih antara gue sama Dea, tanpa mikir panjang lagi, Soya pasti langsung milih Dea.
"Kali ini....gue beneran bakal nyerah, Soy."
***
Detik berganti detik
Menit berganti menit
Jam berganti jam
Dan hari berganti hari
Soya's Pov
Bingung, jelas aku rasakan. Tak ada maksud lain. Aku hanya bertanya-tanya, mengapa dia.....berubah?
"Cukup deh, Soy!" Suara seorang gadis, mengejutkanku yang sedang melamun. "Cukup pura-puranya! Sekarang lo baru ngerasa kan, kalo lo kangen Dian?"
"Apaansih!" Kutatap sinis Dea yg duduk di sampingku. Dia selalu saja menuduhku demikian. Padahal, sudah kubilang berkali-kali, bahwa aku tidak suka manusia itu.
"Terus, lo akhir-akhir ini kenapa?"
"Emang gue kenapa?"
"Ck! Lo tuh ya, ngelamuuuunnn terus kerjaannya! Gue tau, yang ada di otak lo itu Dian, sekarang! Kenapa sih gak jujur aja? Se-gengsi itu lo ngakuin perasaan lo sendiri?"
Aku terdiam. Mana mungkin aku suka padanya. Aku justru sangat amat membencinya. Tapi...entahlah.
Dea bangkit dari duduknya. "Gue mau ke toilet dulu." Setelah itu, dia pun keluar kelas.
Aku terdiam kembali, duduk di bangkuku dengan pikiran yang kemana-mana. Biasanya, sebelum jam pertama masuk, dia selalu datang. Tapi, sudah beberapa hari ini dia tak melakukan rutinitasnya itu. Aku masih bisa melihat dan kadang bertemu tatap dengannya, entah itu di kantin, di koridor, atau tempat-tempat yang memang sering dikunjungi murid. Selebihnya, aku tak pernah melihatnya. Bahkan saat kami berpapasan, dia seolah tidak mengenalku. Apakah kepalanya terbentur keras sampai dia lupa ingatan? Dan bukan hanya itu, dia seperti orang yang berbeda sekarang. Nampak dingin, pendiam, dan jarang bicara. Aku terkadang merasa, bahwa itu bukanlah dirinya. Ada apa sebenarnya? Dimana Dian yang lama?
Tunggu! Kenapa aku jadi memikirkannya seperti ini? "Hah~~" Aku menghela nafas. Sepertinya Dea benar. Akhir-akhir ini, aku memang memikirkan gadis itu. Untuk apa pun, aku tidak tahu. Tidak mungkin kan, jika aku memang....merindukannya?

KAMU SEDANG MEMBACA
Anything For You
Teen Fiction(Completed) Ditolak berkali-kali, tak mengurungkan niatku untuk tetap berjuang mendapatkanmu. Walaupun tukang parkir said, "Mundur! Mundur!" Aku akan tetap maju. Pokoknya...... GAS AJALAH TEROS SAMPE DAPET!!! #GXG