PROLOG

485 126 91
                                    

Namanya Emeralda Saputri. Panggil saja Putri. Dia adalah gadis biasa di umur yang seharusnya menjadi usia emas bagi kebanyakan orang. Tujuh belas tahunnya dimulai dengan cara yang sangat amat membosankan.

Bagaimana tidak, Putri dan pelajar lain harus terjebak oleh sebuah pernyataan yang katanya sekolah diliburkan selama dua minggu. Namun nyatanya, dikarenakan kondisi pandemi Covid-19 yang tak kunjung membaik, ini adalah tahun keduanya dia bersama teman-teman belajar dari rumah alias study from home.

Meskipun begitu, ada sesuatu yang berbeda dari biasanya, yakni pengumuman praktek kerja lapangan yang sungguh di luar dugaan. PKL atau prakerin yang akan dijalani ternyata secara langsung, offline, tatap muka atau tidak daring lagi.

Sungguh menyenangkan bukan, setelah sekian lama terkurung bak seorang tahanan dengan penugasan yang tiada habisnya, akhirnya bisa bebas juga. Tapi tetap ada pembatasan-pembatasan yang diberlakukan untuk itu, seperti; selalu memakai masker, dan menaati segala prosedur kesehatan yang ditetapkan.

Dan hari ini kita di sini. Di sebuah aula sekolah yang diberi nama Krida Taruna Loka, semuanya berkumpul demi mendapatkan secercah harapan kapan kegiatan PKL diadakan. Lantas satu persatu dari siswa siswi itu mulai menerima pembagian PKL di wilayah masing-masing dengan kuota yang terbatas. Sedangkan Putri sendiri, masih berdiri terpaku menunggu namanya yang tak kunjung dipanggil juga.

"Tegang banget kelihatannya. Kenapa, Put?" Tanya seseorang yang tiba-tiba berdiri di sebelah Putri.

Gadis itu hanya tersenyum dibalik maskernya, sembari membenarkan letak kacamata, dia membalas dengan tenang, "bukan apa-apa. Cuma kepikiran aja, gue bakal kebagian gak ya? Secara kuota PKL di daerah kita cuma dibutuhkan dua orang, sedangkan di sini ada gue, lo, dan Delima."

Gadis di samping Putri pun juga baru menyadarinya. Nampak dari ekspresi yang sedikit melongo. "Itu artinya ada salah satu dari kita yang gak kebagian PKL, dong?"

"Kemungkinan, iya," jawab Putri.

Tusy berpikir sejenak, menatap lawan bicara dengan penuh ke hati-hatian. "Kalau memang lo sama Delima yang PKL duluan, gue gak masalah kok, Put. Toh, kita gak harus bareng terus kan?" Ujarnya.

Tusy adalah salah satu teman baik Putri yang rumahnya tidak jauh dari gadis berkacamata itu. Mereka berteman sejak kecil, sejak duduk di bangku sekolah dasar. Namun karena berbeda sekolah di jenjang selanjutnya, sementara mereka terpisah. Kemudian sewaktu mereka naik ke jenjang menengah atas, mereka dipertemukan lagi di SMK ini.

"Tapi ... lo gimana?"

"Bukannya gue udah bilang, gak PKL pun gue gak masalah. Tenang aja," kata Tusy.

Hingga sesi pengumuman PKL daerah mereka berlangsung, semua dari kita terutama Putri dan Tusy nampak tegang. Nama Delima sudah lebih dulu disebutkan. Tinggal satu nama lagi, satu nama yang membuat dada gadis itu berdebar cukup kencang.

"Selanjutnya yang menempati unit bank di jalan kenanga nomor 5. Sebagai informasi, PKL di daerah ini kuotanya cuma dua orang ya. Jadi yang satu Delima, terus yang satu lagi ... Tusy kamu PKL bareng Delima, ya?" ungkap Pak Andi, salah satu guru yang merupakan panitia pelaksana PKL tahun ini.

Sementara yang dipanggil terdiam cukup lama, begitupun Putri. Egonya mengatakan kalau harusnya dia yang mewakili sekolah untuk PKL kali ini. Tapi dari sekolah sudah memutuskan agar Tusy yang PKL lebih dulu.

Tusy beranjak ke arah Putri, sekadar mengucapkan permintaan maaf yang tidak seharusnya ia lakukan. Dia menawarkan untuk menggantikan posisinya jika Putri berkenan. Tapi dengan hati yang lapang gadis itu mengatakan dia tidak mengapa jika memang dia PKL di kloter selanjutnya yang entah kapan akan diadakan lagi.

"Eh, Put. Sorry ya, gue sama Tusy PKL duluan nih. Lo gak apa-apa kan? Bukannya gue gak mau gantian posisi sama lo, cuma kan dari pihak sekolah juga udah milih gue. Jadi, lo terima PKL di gelombang dua aja ya. Itupun kalau ada," kata Delima.

"Santai aja," balas Putri singkat sembari melengkungkan kedua sudut bibirnya.

Tidak mengapa, Putri sudah terbiasa mengalah. Meski seringkali ia merasa dunia tidak adil padanya, namun ia juga tidak bisa menyalahkan semua skenario yang telah ditetapkan Tuhan. Gadis itu meyakini, akan ada hal baik yang tengah menantinya. Iya, jika ia tidak dipilih untuk PKL kali ini, berarti memang ada kejutan lain yang sedang disiapkan-Nya untuk Putri nanti.

"Baiklah, pengumuman kegiatan PKL saya cukupkan sampai di sini. Bagi yang tadi namanya dipanggil jangan pulang dulu, karena habis ini kita langsung ke kantor cabang, untuk melaksanakan pembekalan PKL. Kemudian, bagi yang belum kebagian untuk PKL pada sesi ini, mohon tetap tenang sembari menunggu informasi selanjutnya," pungkas Pak Andi.

Pagi itu aula cukup riuh. Banyak diantara teman-temannya yang terpilih untuk PKL di gelombang pertama. Beruntungnya lagi, semua sesuai dengan apa yang mereka harapkan.

"Hei, lo udah dapet, Bro? PKL di mana?"

"Udah nih, Bro. Di unit bank yang ada di pasar baru."

"Wah, selamat ya. Katanya yang dipilih PKL hari ini langsung pembekalan ya, di kantor cabang?"

"Iya, lo sendiri gimana? Ikut pembekalan juga kan, habis ini?"

Nampak lelaki itu hanya tersenyum, sembari mengeratkan tas di gendongannya. Dalam teduhnya tatapan itu, dia menghela napas dalam-dalam.

"Gue pulang."

Dari kejauhan Putri bergeming. Ternyata dia tidak sendirian. Ada juga banyak pasang mata sendu yang merelakan langkah kakinya untuk kembali ke rumah. Pulang tanpa membawa sesuatu yang pasti.

Namun setelah Putri pikir lagi, buat apa dia bersedih hati? Bukankah itu bukan masalah yang serius. Justru dengan tidak PKL, ia bisa lebih lama bebas di rumah. Bebas bermain dengan keponakan, dan hanya berfokus pada tugas sekolah. Bukankah itu sebuah rencana yang indah?

Di sisi lain, tanpa gadis itu sadari, seorang lelaki berdiri terdiam tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dari kejauhan dia memandang Putri dengan tatapan yang sulit dijelaskan.










______________________________________________

Selamat tinggal hati yang patah, selamat datang penantian. Semoga dengan ini datang banyak kebahagiaan, bukan trauma yang tak diharapkan.

LOVE BANKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang