5 ✓ Berbicara Cita-cita

153 75 24
                                    

Seusai menerima tugas baru dari mbak Dewi, Putri bergegas ke ruang belakang, menuju ruangan dengan cat warna pastel elegan, senada dengan warna bagian ruangan lainnya. Yang membedakan disini hanyalah interior dan tumpukan berkas-berkas pengajuan yang sedikit berantakan.

Putri tidak sanggup membayangkan, pasti tugas seorang kepala unit itu cukup melelahkan.

Tok tok

"Permisi pak, saya dimintai tolong sama mbak Dewi untuk meminjam mesin EDC," ucap Putri sembari menetralisir kegugupannya.

"Oh iya, dek, ada di sini masuk aja gak apa-apa," ujar pak kepala.

Tuh kan, pasti disuruh ambil sendiri.

Lah, emang ini tugas gue.

Tapi masalahnya gue gak tau mesin EDC itu kayak apa.

Apa gue nanya aja ya?

Ah, enggak deh, nanti dikira gak tau apa-apa.

Tapi kan, emang gak tau...

Selepas terdiam cukup lama—akibat perdebatan sengit dalam kepala, akhirnya Putri memutuskan untuk bertanya. Tidak ada salahnya bukan?

Gak apa-apa, bertanya gak akan membuat pak kepala memakan gue hidup-hidup kok. Ucap Putri dalam hati.

"Maaf, mengganggu waktunya, pak. Kalau boleh tau mesin EDC itu yang seperti apa, ya?"

Keliatan banget bodohnya. Batin Putri merutuki diri sendiri. Pikirnya, kenapa dari kemarin-kemarin gak mempelajari laporan kerja kakak kelas yang dikasih buat bekal menjalankan tugas PKL ini. Setidaknya bisa sedikit membantu.

Pak kepala menoleh lantas tersenyum kikuk, "Mesin EDC? Itu dek, yang buat menggesek ATM."

Bola mata Putri langsung tertuju pada mesin yang udah berulangkali ia liat, ia lewati dari beberapa menit yang lalu. Hanya saja, ia mengenalnya 'mesin gesek' bukan EDC. "Oh itu, mesin gesek ternyata."

"Iya dek, mesin gesek itu namanya EDC, Electronic Data Capture. Nah, mesin ini gunanya sebagai alat penerima pembayaran yang menghubungkan antar rekening," jelas pak kepala kepada Putri.

"Oh gitu pak, terimakasih atas penjelasannya, saya permisi ke mbak Dewi dulu, pak."

Tanpa ba-bi-bu lagi Putri keluar dari ruangan yang mungkin beberapa hari kedepannya akan lebih sering ia masuki. Untuk sekedar alasan, mengambil EDC atau perintah-perintah lainnya.

Putri keluar sembari menghentakkan sepatunya kesal. Kenapa bego banget, gitu doang masa gak tau.

Saat ini banyak sekali pemikiran-pemikiran liar berkecamuk di kepala Putri. Tentang ini lah, itu lah. Namun Putri urung untuk memikirkannya mengingat ia masih banyak tugas yang harus dikerjakan.

"Mbak Dewi, ini mesin EDC-nya." Putri menyerahkan mesin kecil itu pada mbak Dewi yang sekarang duduk seorang diri. Entah kemana keberadaan Fandi saat ini, paling-paling ada tugas lain yang harus dia kerjakan di belakang.

"Oh iya, dek. Makasih, ya."

"Sama-sama, mbak. Ada yang bisa Putri bantu lagi?"

Ditengah kesibukan melayani antrian nasabah--yang sedari tadi Putri lihat tidak henti-hentinya, mbak Dewi menoleh kearah Putri, "Mbak Dewi minta tolong fotokopikan KTP nasabah, dong."

"Siap, mbak Dewi."

"Udah bisa, kan?"

"Udah dong mbak, kan mbak Dewi yang ngajarin. Hehe."

LOVE BANKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang