17 ✓ Ketinggalan

74 12 16
                                    

Netra mereka berpandangan untuk beberapa saat. Siapa sangka Putri akan kehabisan kata-kata untuk kedua kalinya. Gadis itu tak habis pikir dengan lika-liku otaknya Fandi, benar-benar tidak bisa ditebak.

Kesal. Itu yang gadis itu rasa. Setelah tadi terang-terangan Fandi memergoki Putri yang mengikutinya, sekarang dia malah membawa Putri kesini. Ke ruangan di mana ibunya dirawat. Sebenarnya apa maksud anak ini? Putri sampai heran dibuatnya. Sangat. Kepalanya mendadak pening, mungkin efek belum makan barang sesuap nasi sedari pagi. Awalnya ia berpikir, ini akan cepat berakhir. Namun ternyata, berurusan dengan Fandi tidak sesederhana apa yang ia kira.

"Ck, gue masih gak nyangka, loh. Mbak ini yang tadi kan, yang gak sengaja gue tabrak?"

Otomatis Putri mengangguk ragu.

"Jadi yang lo tabrak tadi si Putri?"

"Oh, jadi namanya Putri."

"Lo gak apa-apa kan?" tanya Fandi kepada Putri. Yang praktis ditanggapi senyuman serta acungan jempol tanda ia tidak kenapa-napa.

"Buset dah, cuma kesenggol doang sampai jatuh. Perhatian banget sih," ujar sang kakak sambil cengengesan, menggoda.

Fandi mengernyit heran, melayangkan tatapan tajam ke arah sang kakak. Seakan berkata, awas aja kalau sampai ngomong macem-macem!

Namun bukan Jeffano namanya, jika ia melewatkan kesempatan langka untuk mengintrogasi sang adik tercinta. Menurutnya, ini adalah hot news yang tidak boleh ia lewatkan sedikitpun.

Sejak adiknya itu masuk ruangan bersama seorang gadis yang mengekornya, Fano tak henti-hentinya tersenyum menggoda secara terang-terangan. Apalagi baru ia sadari juga kalau gadis yang mengekor Fandi itu gadis yang sempat tak sengaja ia tabrak beberapa menit lalu.

"Adek, oh adek?" Panggilnya dengan nada menggoda.

"Apa?! Lo kerasukan?"

Jeffano masih setia dengan senyum menjengkelkannya. Senyum yang ingin sekali Fandi bungkam dengan lakban. Rasanya ia ingin mandi kembang tujuh rupa saat mendengar sang kakak memanggilnya seperti itu.

"Ternyata lo masih doyan cewek juga. Gue kira selama ini lo homo," ujar Jeffano sembari terkikik geli.

Fandi hampir saja melempar vas bunga di depannya, namun urung mengingat ada ibu dan juga orang lain di sekelilingnya. Kalian bisa tebak siapa itu.

"Sembarangan!"

"Yoww, siapa sih yang gak ngira lo homo, lo aja gak pernah sekalipun kenalin gebetan lo ke ibu. Ya kan, Bu?"

Fandi mendengus kesal. Bukan karena godaan dari abangnya tapi tuduhan jika Putri adalah gebetannya ... Huh, pernyataan macam apa itu?!

"Dia bukan gebetan gue, Bang. Cuman temen PKL doang," elak Fandi.

"Halah, ngeles aja! Bilang aja lo gengsi kenalin cewek lo karena ada gue, iya kan?"

"Apaan sih Bang, gak jelas banget jadi orang!"

"Udah udah, kalian itu berantem terus kalo ketemu. Kasihan itu Nak Putri jadi keheranan lihat tingkah kalian." Sang ibu yang terbaring lemah di Paramount Bed ikut sesekali menyanggah perdebatan mereka.

Putri sedikit tersentak saat Bu Ratri—Ibu Fandi secara tiba-tiba memegang telapak tangannya. Menyalurkan rasa nyaman dari sana. Mungkin Bu Ratri menyadari jika dari tadi satu satunya yang canggung di sana hanyalah Putri seorang.

"Maaf ya nak Putri, dua bersaudara itu sering banget adu mulut. Memang sih, gak pernah bertengkar besar, tapi debatnya itu ibu sampe capek banget dengernya. Apalagi abangnya sekarang baru pulang dari perantauan ngajak ribut mulu sama adiknya," jelas ibu dari Fandi itu secara halus.

LOVE BANKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang