04

3.2K 357 2
                                    

Hari-hari berlalu seperti biasa, tidak ada yang terasa istimewa bagi Kara. Berangkat kerja sesuai dengan jadwal dan menjalani aktifitas seperti biasanya. Orang-orang yang datang ingin melamarnya pun masih ada, entah kapan mereka akan berhenti.

Kara sudah jengah sebenarnya melihat manusia yang tamak akan harta dan kekuasaan selalu datang silih berganti. Kalau saja Kara tidak mengikuti lomba dulu, mungkin hal ini tidak akan terjadi. Sekarang malah mereka seakan berlomba-lomba mengambil hati Kara lewat sogokan yang menurut Kara tidak ada romantis-romantisnya sama sekali.

Berbagai macam kiriman barang-barang mewah selalu ada saja di rumahya, dari tas branded, perhiasan bahkan pernah ada yang mengirimkan mobil juga, tapi semuanya ditolak oleh Kara.

"Mbok, ada kiriman barang lagi?" Kara masuk kedalam rumah sepulang kerja. Ia melihat Muna meletakan empat buah kotak dengan ukuran berbeda di meja sudut ruangan.

"Iya Neng, tapi ini ada satu surat. Si Mbok, tidak tau dari siapa. Hanya tadi, ada dua orang yang mengantarkannya ke mari." Muna menyodorkan amplop berwarna merah muda kepada Kara.

"Terima kasih, Mbok," ucap Kara sambil menerima uluran surat dari tangan Muna.

"Memang ada gitu, orang kaya ngirim surat cinta? Kaya ABG aja." Kara geleng-geleng kepala. Ia lalu berjalan menuju kamarnya membawa sepucuk surat yang diyakini sebagai surat cinta.

Dilemparkannya asal tas punggung yang tadi ia kenakan di atas kasur. Dengan posisi tengkurap, dibukanya amplop itu dengan rasa penasaran. Siapakah gerangan yang mengirimkan surat itu?
Pengusaha batu-bara? Ah tidak mungkin. Petinggi rumah sakit? Lebih tidak mungkin.
Pejabat perusahaan farmasi? Jauh dari kata yakin.

Kara menerka-nerka siapa nama pengirim surat sambil senyum-senyum sendiri bersamaan tangannya membuka lipatan kertas didalamnya.

"ASTAGA!!!"

Kara berubah posisi duduk saat mengetahui isi surat itu. Tulisannya sangat singkat, tanpa nama pula. Tapi Kara sudah pasti bisa menebak kalau surat itu dari Ardha.

WANITA GAGAL TUMBUH. BAYAR GANTI RUGI SECEPATNYA!!!


Dan tentu saja, ada lembar kedua yang menerangkan berapa jumlah uang yang harus dibayarnya.

"Dasar Tuan Ardha sialan! Aku cabut pujian-pujianku setiap malam untukmu. Ku kira tuan melupakan kejadian itu, tapi ternyata aku salah!"

Kara menyesali perbuatannya selama sebulan ini. Ia mengira, Ardha tidak akan menagihnya. Apalagi gajian bulan ini diterimanya dengan utuh.

Kara menghela nafas panjang, "Nyesel aku tadi cerita sama Bima," gumamnya.

🐣Kejadian tadi siang🐣

Bima dan Kara sedang menikmati makanan di cafe langganan mereka. Restoran itu lumayan jauh dari rumah sakit tempatnya bekerja, hingga membuat Kara meninggalkan motornya di parkiran rumah sakit dan berangkat bersama Bima yang sudah menjemputnya.

"Nggak apa-apa nih, kita makan siang di luar?" tanya Bima saat mereka tadi sedang di dalam perjalanan.

"Aku itu masuknya jam dua Bim, sengaja dateng cepet biar bisa traktir kamu makan," jawab Kara.

Bima tersenyum, "Ada acara apa nih? Sudah punya banyak uang?" canda Bima.

Kara tertawa lirih mendengar candaan dari lelaki yang duduk di belakang kemudi, lelaki yang memang selalu ada untuknya. Lelaki yang sering membantunya dikala dirinya kesulitan.

"Nraktir sahabat 'kan, nggak harus nunggu kaya, Bim," sahut Kara dan mendapat anggukan dari Bima.

Niat Kara mentraktir Bima adalah sebagai rasa ucapan terima kasih atas bantuan Bima kemarin. Padahal Bima sudah menolak ajakan Kara, tapi Kara tetep ngotot ingin mentraktir dan mengancam tidak akan meminta bantuan dari Bima lagi kalau Bima menolak ajakannya. 

Racikan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang