09

2.6K 321 5
                                    

Kara tiba di rumah saat hari sudah hampir tengah malam. Walaupun dirinya masih sangat kesal karena diperlakukan seenaknya dengan Ardha, tapi hati Kara tidak bisa dibohongi kalau ia sangat menikmati saat tangannya digenggam erat oleh Ardha selama hampir satu jam lamanya. Senyum simpul dan wajah yang merona selalu menghiasi wajah cantiknya hingga membuat sopir taksi online yang ia tumpangi tadi menjadi bergidik ngeri karena mengira penumpangnya sedang menunjukkan gejala gangguan jiwa.

Tapi senyum di bibir Kara menghilang saat Kara sampai ke rumah dan melihat abangnya sudah menyambutnya di ruang tamu. Kara tahu, kalau Baron pulang ke rumah pasti ada urusan penting yang menyangkut dirinya.

"Bukankah jam kerjamu hanya sampai jam sembilan? Kenapa hampir tengah malam begini baru sampai? Dan di mana motormu?" Baron memberondong Kara dengan pertanyaan sesaat setelah Kara memasuki rumah dan duduk di kursi ruang tamu.

"Motornya dibawa sama Fira, Bang. Aku naik taksi online," jawab Kara malas. Sudah capek pulang kerja, malah diinterograsi sama abangnya.

"Tumben. Biasanya kamu gak mau naik taksi online karena ongkosnya mahal," selidik Baron.

Kara menghela nafas, "Aku takut naik ojol kalau malam-malam, Bang," jawab Kara, dan itu sepenuhnya benar.

"Di markas mobil ada lima, kamu bisa pilih sesuka hatimu."

"Kara nggak punya SIM mobi." Kara beralasan.

"Anak buahku bisa mengantarmu, bahkan menjadi pengawalmu."

Kara menggeleng cepat. "Nggak mau! Anak buah Abang nggak ada yang bener, pada belok semua!"

"Kalau begitu, kamu terima lamaran Sam. Aku akan tenang jika kamu menikah dengannya."

"Sam melamarku juga?" 

"Iya, tadi Sam datang kemari dan berniat melamarmu," terang Baron. 

"Abang menerima lamarannya?" tanya Kara penuh selidik.

"Aku rasa hanya dia yang pantas menjadi suamimu dan bisa menerima keluargamu yang jauh dari kata baik ini," jawab Baron.

"Kalau sudah tahu keluarga kita tidak baik, kenapa harus dilanjutkan!? Apa Abang tidak bisa berhenti dari pekerjaan haram Abang?"

"Abang sudah katakan jangan bahas pekerjaan Abang."

"Kara tahu itu pekerjaan Abang, tetapu asal Abang tahu, Kara tidak ingin menikah, dan bahkan tidak mau dekat dengan laki-laki karena aku takut mereka tidak bisa menerima keluarga kita. Itu semua karna Abang! Karena aku adalah adik dari seorang penjahat dan Mafia kejam!" teriak Kara.

"Makanya cari suami yang sudah kenal dengan keluarga kita, Kara!" Baeon tak mau kalah.

"Bang Baron, egois!" Kara pergi meninggalkan Baron dengan perasan marah.

"Dua bulan lagi kalian menikah. Aku tidak mau mendengar penolakan darimu!" tegas Baron yang tak peduli dengan perasaan Kara. Baron lalu pergi ke luar rumah.

"Aku tidak mencintai Sam, Bang! Abang nggak bisa begitu aja nerima lamaran dia!!" teriak Kara. Ia berlari mengejar Baron hingga sampai di ambang pintu. Tapi motor Baron sudah pergi jauh.

Kara terduduk di ambang pintu, "Aku mencintai Tuan Ardha, Bang," lirih Kara sambil menangis.

💞

Pagi ini Kara pergi ke pasar tradisional, sebuah pasar yang tidak terlalu besar tetapi cukup lengkap menjualn kebutuhan dapur dan rumah tangga. Pasar ini sebenarnya adalah sebuah gang yang menghubungkan jalan raya satu dan tembus ke jalan raya yang lainnya.

Kara memilih berbelanja ke pasar ini bukan tanpa sebab. Di pasar tradisioal ini semua harganya murah-murah dan bisa ditawar. Kualitas sayuran juga masih segar-segar, karena biasanya para petani langsung yang membawa sayuran mereka untuk dijual di pasar ini.

Dengan membawa tas belanjaan yang lumayan berat, Kara berjalan menuju parkiran. Kara meletakkan tas belanjanya di depan. Belum juga Kara ke luar dari tempat parkir, ia sudah dikejutkan dengan suara Bima yang menyapanya.

"Belanja, Ra?" tanya Bima.

"Kamu ngapain di sini pagi-pagi gini, Bim?" Kara melihat jam dinding tergantung yang berada di salah satu toko baju di depan parkiran. "Masih jam tujuh."

"Ngater si Juleha," jawab Bima enteng.

"Pak, sebentar ya. Belum beres urusannya." Kara berkata kepada tukang parkir yang sudah berniat mengeluarkan motornya.

Tukang parkir menganggukkan kepala dan kemudian pergi lagi.

"Ibu kamu ke pasar sini juga?" tanya Kara. Mereka sekarang sedang berada di warung bakso. Lumayan sarapan gratis bagi Kara karena Bima yang mentraktir.

"Iya. Tadinya mau belanja di supermarket, gak aku bolehin."

"Kenapa?"

"Dia mah enak tinggal gesak-gesek, aku yang kerja banting tulang siang-malem pusing mikirin uang belanja yang habis sebelum gajian lagi," keluh Bima.

"Kok sekarang ibu kamu mau belanja di sini, Bim? Bukannya ibu kamu gengsi ya ke pasar tradisional?" tanya Kara, sesekali mulutnya mengunyah bakso yang dijual Mang Tatang. Memang enak, dan juga tempatnya bersih.

"Gengsi mah tetep si Juleha. Nanti selesai belanja, semua belanjaannya pasti diganti plastiknya dengan plastik yang swalayan. Biar dikira tetangga habis belanja di supermarket." Bima terkekeh mengingat kelakuan ibunya, begitu juga Kara yang juga geleng-geleng kepala mendengar cerita Bima.

"Bim, kenapa kamu nggak nikah aja? Biar nanti istri kamu yang ngatur keuangannya," usul Kara.

"Ya udah, nikah sama kamu aja yuk, Ra. Aku siap kapanpun kamu mau." Bima sangat semangat mengucapkannya.

"Nggak usah becanda, Bim. Kita itu cuma temen. Aneh-aneh aja kamu."

"Aku serius, Ra!" tegas Bima memandang wajah Kara dengan lekat.

Kara menghela nafas panjang. "Kalau kamu berani lawan Sam dan Bang Baron, silahkan saja teruskan niatmu itu."

"Sam? Pemimpin geng pembalap liar itu?" Bima memastikan dan Kara menganggukkan kepalanya.

"Kamu ada hubungan apa sama Sam?" tanya Bima.

"Dia ngelamar aku lewat Bang Baron. Dua bulan lagi aku disuruh nikah sama dia," jawab Kara malas. Semalam Kara tidak bisa tidur karena ucapan Baron tentang lamaran Sam. 

"Apa!!" Bima reflek memukul meja hingga terdengar suara berisik dari mangkok kosong yang beradu dengan sendok hingga berdenting keras. Hal itu menyita perhatian pelanggan bakso yang lain dan langsung mengarahkan pandangan matanya ke meja yang diduduki oleh Kara dan Bima.

"Maaf-maaf." Kara jadi tak enak hati karena menjadi pusat perhatian.

"Kamu cinta sama Sam, Ra?" selidik Bima lagi, ia sudah duduk dengan tenang saat ini.

"Enggak!" jawab Kara cepat.

"Kalau begitu kamu tolak lamaran Sam, jangan mau nikah sama dia."

Kara terdiam. Kara tidak tau bagaimana caranya ia menolak Sam, dan menghindari lelaki itu. Kara sangat tahu siapa Sam. Dia sama seperti Baron. Hanya bedanya, Sam tidak memiliki bisnis di pasar gelap. Hanya mendidik anak buahnya untuk balapan liar dan juga para preman bayaran yang biasa disewa oleh orang-orang tertentu untuk melakukan kejahatan.

"Aku harus gimana, Bim?"

"Sabar ya, Cantik. Nanti kita pikirkan jalan keluarnya. Kita bereskan dulu urusanmu dengan Tuan Rentenir, aku ada kabar baik buatmu."

"Kamu sudah ketemu orangnya?" tanya Kara bersemangat.

"Mudah-mudahan rejeki kamu, Ra," jawab Bima sambil tersenyum.

*****************

Racikan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang