08

2.6K 329 3
                                    

Awalnya Kara sudah mantap untuk bergabung dengan Hutama Group, tetapi cerita dari Fira memupuskan harapannya.

"Sepupuku ada yang kerja di sana, gajinya memang besar, tetapi peraturannya ketat dan ada satu peraturan tak tertulis yang wajib dipatuhi oleh setiap karyawan perempuan, terutama wanita cantik."

"Peraturan tak tertulis, apa itu?" tanya Kara penasaran.

"Rumornya sih ya, setiap karyawan wanita yang cantik, akan langsung dipecat setelah diajak kencan sama Bos," ucap Fira sembari mengangkat dua jarinya keatas dan membuat tanda kutip disana.

"Kencan," gumam Kara yang juga mengangkat kedua jarinya mengikuti Fira.

"Masih ada lagi, Ra."

"Apa?"

"Karyawan di sana tidak boleh kerja sampingan di tempat lain. Kalau ketahuan, bakal dipecat dengan tidak hormat."

Kara terkejut mendengar peraturan yang terakhir. Tidak diperbolehkan bekerja sampingan, artinya ia harus bekerja tanpa dibayar sampai hutangnya lunas. Kara pun membuang pikiran untuk bergabung di perusahaan milik Ardha, apalagi jika sampai ia nantinya diajak berkencan dengan pemilik perusahaan itu, lalu ujung-ujungnya dipecat juga. 

Karena merasa mencari pekerjaan sudah buntu, Kara menghubungi Bima. Mungkin Bima bisa membantu masalahnya. Ya ... Mungkin.

Sepulang kerja, Kara menghampiri Bima di Rumah Sakit tempat Bima bekerja. Tidak terlalu jauh karena masih satu kota dengan Rumah Sakit tempat Kara bekerja. Kara menunggu di cafetaria rumah sakit, selain lebih santai untuk mengobrol, cafe itu juga tidak terlalu jauh dari ruangan kerja Bima.

Sepuluh menit menunggu, Kara melihat Bima datang dengan bibir yang tersenyum lebar.

"Hay, Cantik. Nunggu lama ya?" Bima langsung menarik kursi dan duduk di hadapan Kara.

"Iya, sewindu nunggu kamu," sarkas Kara.

Senyum di wajah Bima bertambah lebar, tetapi tidak dengan Kara. Wajah wanita itu tampak murung dan gelisah. Menyadari hal itu, Bima segera menarik senyumnya, lalu mengenggam tangan Kara.

"Kenapa? Ada masalah lagi?"

Kara mengangguk kecil.

"Ayo cerita. Kang Mas Bima siap mendengarkan." Bima melipat kedua tangannya dan menatap Kara dalam-dalam.

"Nggak gitu juga lihatnya!" Kara mendorong wajah Bima karena risih. Bukannya marah, Bima malah tertawa.

"Iya, iya. Nih udah bener lihatnya."

Kara tersenyum kecil melihat Bima, tetapi sesaat kemudian Kara meminta Bima untuk memajukan kepalanya, agar Kara bisa membisikkan sesuatu.

"Carikan aku keluarga pasien yang sedang koma, Bim," bisik Kara.

"Serius?" 

Kara mengangguk yakin.

"Kamu butuh uang?"

Kara mengangguk lagi.

"Banyak?"

Lagi-lagi Kara menganggukan kepalanya.

"Bima menggaruk kepalanya. Bingung. Di satu sisi Bima ingin menolong sahabatnya, di sisi lain karirnya sebagai dokter di rumah sakit ini akan hancur apabila ketahuan menjual obat secara ilegal kepada keluarga pasien.

"Nggak bisa ya, Bim?" ucap kara takut-takut.

"Bukan gitu sih, Ra. Tapi gimana ya?" Bima bingung.

"Tolong aku, Bim. Aku cuma dikasih waktu dua bulan untuk membayar hutang kepada Tuan Ardha." Kara sedikit memohon dengan suaranya parau.

Racikan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang