Seminggu setelah kejadian hari itu, Alva sengaja datang lagi untuk menemui Ajeng. Kali ini Alva datang dengan niat untuk menyelesaikan masalah. Apabila ternyata Ajeng lengah atau ada yang sengaja menyabotase, Alva akan mengusutnya. Selama seminggu ini, Alva tidak bisa menghubungi Ajeng. Nomor ponselnya tidak aktif, dan semua akun sosial medianya menghilang.
Alva sama sekali tidak tahu di mana rumah Ajeng. Mau bertanya kepada orang sekitar, kenapa sepi sekali? Mungkin karena hari sudah malam, orang-orang sudah masuk ke dalam rumah mereka masing-masing. Alva pun berjalan semakin masuk ke dalam gang, menyusuri jalan yang sedikit basah sisa hujan tadi sore.
Akhirnya Alva menemukan sebuah warung kopi yang masih buka. Warung itu sepi, tidak ada pembelinya.
"Bu, minta kopi satu." Alva memesan kopi di warung itu. Tidak enak kalau bertanya langsung, setidaknya Alva memberikan sedikit rezeki dengan membeli dagangannya.
"Mas bukan orang sini ya?" tebak penjual kopi seraya meletakkan segelas kopi di atas meja depan Alva. "Soalnya wajahnya asing," tambahnya lagi.
"Saya hanya kebetulan lewat saja."
"Owh, pantas tidak pernah lihat." Penjual kopi manggut-manggut.
"Boleh saya bertanya, Pak?"
"Silahkan, Mas."
"Saya tidak melihat ada orang satupun saat masuk ke gang ini, apa setiap malam selalu sepi begini?" Alva memulai pertanyaan dengan sedikit basa-basi.
"Oh, itu karena ada tetangga kami yang baru meninggal, Mas. Orang-orang sini kalau ada yang habis meninggal begitu, tidak memperbolehkan anak-anak keluar rumah selepas magrib. Hanya bapak-bapaknya saja yang keluar untuk tahlillan ke rumah duka," kata penjual kopi.
Alva mengangguk paham.
"Kalau rumah Ajeng penjual bakso, bapak tahu?" Alva bertanya lagi.
"Lurus terus nanti belok kanan, rumah paling ujung. Itu rumah orang tua Ajeng." Penjual kopi memberikan petunjuk.
"Terimakasih atas informasinya." Alva mengambil uang seratus ribu rupiah dan meletakkannya di bawah gelas kopi.
Alva berjalan mengikuti jalan sesuai petunjuk. Setelah berbelok dan mencari rumah paling ujung, dahi Alva berkerut. Kenapa ramai sekali di rumah itu? Seperti sedang mengadakan ... tahlillan.
Alva semakin mendekat, tanpa permisi ia duduk bergabung dengan bapak-bapak yang di teras karena tidak kebagian tempat di dalam rumah.
"Benar ini rumah Ajeng, Pak?" tanya Alva lirih kepada pria yang duduk di sebelahnya.
"Benar, Mas," jawabnya pelan.
Alva lalu duduk dengan khitmad. Mengikuti acara tahlilan sampai selesai. Hingga semua jamaah satu persatu pulang ke rumah masing-masing, Alva masih duduk di sana. Seorang wanita yang sudah berumur sekitar setengah abad keluar dari dalam rumah menemui Alva.
"Nak, mari masuk."Sri, kakak dari ayahnya Ajeng menawarkan tempat di dalam untuk Alva.
Alva mendongak, "Boleh, Bu?"
"Boleh."
Setelah mempersilahkan Alva untuk duduk di karpet, Sri kembali ke belakang lagi. Alva kemudian ditemani oleh pria setengah Baya bernama Arman yang sedari tadi duduk di sana bersama dengan lelaki paruh baya yang terlihat sangat sedih.
"Mas ini temannya Ajeng?" tanya Arman.
Alva mengangguk, "Betul, Pak. Saya datang kemari untuk bertemu dengan Ajeng. Saya Ingin memberikan beberapa buku untuk Ajeng. Karena kebetulan jurusan Ajeng sama dengan jurusan adik saya."
Mendengar ucapan Alva, bapak-bapak yang sedari tadi diam itu malah menangis.
"Sabar, Dar. Sabar." Arman menepuk-nepuk pundak Darsono memberikan kekuatan.
"Bapak ini, siapanya Ajeng?" Perasaan alva sudah tak enak.
Arman tidak langsung menjawab, tetapi malah melihat Alva dengan raut wajah yang sedih.
"Kami berterimakasih atas niat baikmu. Tapi kami rasa sekarang Ajeng sudah tidak membutuhkan buku-buku itu lagi. Yang Ajeng butuhkan hanyalah doa," ucap Arman.
Alva tidak mengerti maksud dari ucapan Arman.
"Ini salahku, Man. Aku kemarin ribut dengan Ajeng karena baksonya meracuni orang. Harusnya aku tidak bersikap terlalu kasar kepadanya. Harusnya aku bertanya baik-baik, jadi Ajeng tidak pergi dari rumah," ucap Darsono penuh kesedihan.
"Ajeng pergi ke mana, Pak?" Alva semakin penasaran.
"Ajeng kabur dari rumah sejak tiga hari yang lalu, tapi tiba-tiba tadi pagi ada ambulan datang membawa jenazah Ajeng. Katanya Ajeng meninggal karena kecelakaan." Arman yang menjawab pertanyaan Alva.
"Bapak nggak bohong?" Alva bertanya lagi.
"Kuburannya ada di sana, kamu bisa lihat sendiri," jawab Arman.
Tanpa basa-basi, Alva pergi menuju pemakaman yang masih basah, ada batu dengan batu nisan bertuliskan nama Denaya Ajeng dan juga bunga yang masih segar di atasnya.
"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un allahummaghfirlaha warhamha wa afiha wa'fuanha."
****************
Othor mau kabur... Takut digeruduk nitizen. 🙏
🙈🙈
KAMU SEDANG MEMBACA
Racikan Cinta
RomantizmIni adalah kisah dari seorang wanita bernama Karamina Alma. Wanita yang merelakan kesuciannya kepada pria yang diam-diam dicintainya agar calon suaminya membatalkan pernikahannya. Seperti apa kisah mereka? 🌺🌺🌺 Hay pemirsa kesayangan, ini adalah...