02. Alunan Aneh di Rumah Baru

97 30 41
                                    

Keesokan harinya, aku ikut dengan Ayah untuk membereskan berkas dan surat-surat sekolah yang harus diurus untuk perpindahan. Aku melihat Chantal dan keroconya seperti biasa, tapi tatapannya berubah. Seolah Chantal memandangku sebagai orang asing, tidak lagi dengan tatapan tajam seperti biasanya. Mungkin dia juga sadar kalau aku akan pindah, maka posisinya kembali aman.

Setelah selesai mengurusi berkas dan surat-surat, Ayah menelepon tukang angkut barang. Tiga truk mini tiba di halaman, barang-barang kami pun siap diangkut. Aku tak banyak membantu, karena semua barang kecil terkemas rapi di dalam kardus, dan itu berat sekali.

Kulihat ponselku berdering ketika sedang mematung menunggu kasur (sebagai barang yang terakhir) dimasukan ke dalam truk. Di layar kunci terdapat nama tertera: Bunda.

Aku mengangkatnya.

"Erina, apa kabar?" tanya Bunda.

Aku menatap langit. "Aku baik."

"Mau bertemu nanti hari Minggu? Sekarang Bunda sedang ada pekerjaan. Ada yang mau Bunda bicarakan dengan Rin."

"Enggak bisa, Bunda. Hari ini aku pindah rumah. Jadi hari Minggu aku sudah enggak ada di Bandung." Aku menghela napas. "Bicarakan saja sekarang. Aku sudah mau berangkat."

"Kenapa kamu baru bilang sekarang, Rin? Pindah ke mana? Bagaimana dengan sekolah? Ah, ayahmu itu selalu seperti ini. Ke mana lagi dia akan membawamu pergi?"

Bukannya Bunda yang pergi?

"Enggak ada yang perlu Bunda khawatirkan. Sudah, ya, Bunda, aku harus berangkat," kataku, segera menutup telepon tanpa menunggu Bunda menjawab. Untuk sekarang, jangan paksa aku agar segera berbaikan dengan Bunda atau dengan keadaan. Aku tidak dapat bohong kalau aku tidak marah sekarang.

Ayah melirikku dengan heran, aku pun tersenyum padanya dan bilang, enggak apa-apa, ayo berangkat.

Kami pun menaiki mobil dan bergegas pergi meninggalkan Bandung, menuju Bogor-tempat tinggal kami yang baru.

***

Tajur Halang, Bogor. Suasana yang sejuk karena masuk ke dalam wilayah pedesaaan, jalannya naik-turun dan dikelilingi pepohonan, aku merasa bahwa Ayah benar-benar tidak salah pilih tempat untuk tinggal. Terlihat kebun teh dan sawah-sawah terbentang luas memenuhi lereng, orang-orang yang kulihat sedari tadi kebanyakan berjalan kaki dibandingkan naik kendaraan. Mereka saling menyapa dengan bahasa daerah, saling memberikan senyum.

Seumur hidup, aku belum pernah pindah rumah ke wilayah pedesaan seperti ini. Kebanyakan pindah ke perumahan atau wilayah kota yang padat penduduk. Kebanyakan sangat berisik dan wilayah toxic, sedikitnya sangat senyap karena perumahan. Aku berharap lingkungan di sini membuatku dapat beradaptasi dengan baik, agar aku bisa berubah.

Mobil kami masuk ke dalam gapura Desa Surya, disambut tatapan heran orang-orang yang berlalu-lalang. Tentu saja, mereka pasti terkejut karena mendapati pendatang baru dengan membawa tiga truk berisi barang-barang pindahan. Anak-anak yang sedang bermain bola di lapangan juga menghentikan aktivitas mereka sejenak, menatap kagum. Beberapa dari mereka mengikuti truk paling belakang sambil benyanyi. Rasanya, jarang sekali aku bertemu anak-anak dan mendengar suara tawa mereka yang antusias.

Namun, mereka berhenti mengejar karena diperingatkan oleh ibu-ibu mereka, bahwa mengikuti truk itu berbahaya. Aku hanya terkekeh melihat ekspresi kecewa anak-anak itu. Kemudian, mobil kami terus melaju sampai memasuki gerbang yang sudah berkarat. Ketika aku melihat ke depan, barulah nampak sebuah bangunan megah berdiri dua lantai. Hanya dengan melihatnya sekali, aku sudah mengerti, bahwa inilah rumah kami yang baru.

[END] MellifluousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang