03. Seorang Anak Laki-laki dari Rumah Kaca

81 24 28
                                    

Buatku, salah satu hal yang paling sulit dilakukan di dunia ini adalah bangun pagi. Tapi, karena pagi ini sangat berisik-suara palu dan paku terdengar beradu, suara kicauan burung, tawa anak-anak, serta gesekan teflon dan blender yang samar-aku berhasil bangun pukul enam pagi karena kesibukan suara-suara itu.

Menyibakkan selimut dan bangun dari posisi tidur, buram mataku menangkap cahaya matahari yang terang lewat tirai jendela yang berkobar-kobar. Angin pagi yang segar dirasa sangat beda dibandingkan saat di rumah yang dulu. Namun, tetap saja. Semuanya masih terasa asing, semuanya berbeda. Tidak pernah terbayangkan olehku kamar seperti ini menjadi kenyataan. Aku juga tidak pernah membayangkan, hari-hariku akan seperti apa tanpa Bunda.

Aku melirik ke arah meja belajar dan mendapati ponsel berdering. Alarmnya telat berbunyi. Segera, aku turun dari kasur dan mengambil ponselku. Selain notifikasi dari alarm, ternyata ada juga notifikasi pesan dari nomor yang tidak dikenal.

+62**********
Rin, mau tahu hal yang
menurut gue paling heboh
sekarang?
Nyokap lo nikah sama bokap gue
Gue juga mau lurusin sesuatu
sama lo
Tolong angkat telepon gue

Hatiku mencelos sakit. Tidak lama setelah aku membaca pesannya, dia menelepon. Lantas, aku mengangkat telepon itu.

"Ini gue, Chantal." Suara yang tidak asing, logat yang familier. Ini benar-benar Chantal.

"Gue tahu," kataku, sedikit serak.

"Mungkin nyokap lo belum kasih tahu perihal ini, berhubung kemarin gue ngerasa terlalu kasar sama lo, gue juga mau minta maaf." Terdengar suara grasak-grusuk dari ujung telepon. "Gue minta maaf, Erina. Sekarang lo harusnya sadar kenapa selama ini gue jahat sama lo."

Aku mendengarkan.

"Gue benci sama lo, Rin." Hening sejenak, sebelum Chantal melanjutkan, "Gue benci lo yang punya segalanya. Sebenarnya, bokap gue sudah pernah cerita tentang lo yang atlet lari juga kayak gue, dan bokap gue tertarik sama nyokap lo. Enggak lama setelah itu, lo pindah ke sekolah gue. Semua orang perhatiannya berpusat ke elo, mereka ngomongin elo, bahkan bokap sering nitipin gue hadiah buat elo. Tapi gue buang. Karena itu, gue ngerasa lo pantas mendapatkan ini. Lo pantas menderita, lo pantas merasakan iri kayak gue. Dan bodohnya, gue tahu itu keterlaluan dan itu salah."

Aku tersenyum, kemudian menunduk.

"Gue benci sama lo, Rin."

Air mataku jatuh. Dadaku terasa sesak.

"Karena nyokap gue baru meninggal beberapa bulan lalu, dan bokap gue terpikat sama nyokap lo. Gue benci elo, Rin. Gue juga benci nyokap lo."

"Sama," kataku, "gue juga benci sama lo. Gue juga enggak berharap dapat permintaan maaf dari lo, atau pengakuan-pengakuan ini. Lo tahu," aku menjeda untuk menyeka air mata, "kenapa orang-orang selalu diingat sama satu keburukan dibandingkan kebaikan-kebaikan yang mereka buat? Itu karena mereka enggak pernah omongin hal-hal yang menurut mereka gak perlu diumbar. Bukan cuma lo, Chantal. Semua orang juga menderita dengan masalah mereka masing-masing."

"Tapi lo enggak tahu."

"Gue emang gak tahu, tapi gue ngerti."

"Lo jahat, Rin."

Aku terdiam.

"Gue tetap enggak bisa lari karena merasa bersalah sama lo. Gue benar-benar minta maaf."

"Gue yakin lo juga sudah dewasa. Lo seharusnya paham kalau lo enggak boleh selalu berprasangka buruk setiap kali menyangkut hal yang bikin lo sedih. Gue enggak tahu apa yang bikin lo sebenci ini sama gue yang enggak pernah berbuat apa-apa sama lo. Apa lo pernah lihat gue deketin bokap lo? Apa lo pernah lihat gue merasa bangga karena jadi populer? Enggak, Chantal. Gue selalu bilang kalau tujuan gue ke sekolah itu untuk sekolah. Bukan untuk cari muka atau cari perhatian sama bokap lo atau sama orang-orang sekitar. Gue pengin lo pikir-pikir lagi. Apa benar gue salah sama lo sampai lo kayak gini, atau lo yang salah karena merasa iri dan berusaha agar lebih baik dengan cara yang enggak benar."

[END] MellifluousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang