15. Hutan Tak Bertuan

44 6 0
                                    

Malam tiba, dan kami masih berada di dalam kapal. Rasanya tak ada waktu buatku berleha-leha, kepala dan benak penuh dengan tanda tanya--rasanya juga kekhawatiran yang buat gelisah ini tak kunjung reda padahal tahu kalau Ayah baik-baik saja.

Suara ranting patah membuatku terkejut, ada Vin yang sibuk memilah kayu untuk--entah untuk apa. Dia terlihat begitu serius.

"Rin, Vin, ayo berkumpul." Ael memanggil di ambang pintu.

Aku bangkit dari duduk, begitu juga Vin yang menghentikan aktivitasnya. Dia menoleh ke arahku, membuatku heran. "Sejak kapan kamu ngerti bahasa mereka?" tanyaku.

Vin mengangkat kedua bahunya. "Entah, Rin. Mungkin karena aku pintar dan mudah beradaptasi, aku jadi cepat hapal dan mengerti apa yang mereka bicarakan."

Aku berjalan mendahului. "Ngawur. Enggak mungkin kamu bisa ngerti secepat itu."

Dia terkekeh. "Aku meminjam buku milik Ael. Ada banyak kosakata asing yang mereka ucapkan beserta artinya di buku itu. Katanya itu milik "manusia" pertama yang datang ke Faegufler," katanya, kemudian duduk di atas bantal lembut yang telah disediakan, di sebelahku. "Penemuan mereka benar-benar hebat."

Aku mengangguk. "Aku juga jadi penasaran, siapa orang itu. Apa orang itu pemilik rumahku sebelumnya..."

Aku menoleh padanya dengan serius. Begitu juga Vin yang seolah menemukan jawaban dari kata-kataku. "Rin ..."

Aku menggeleng cepat. "Enggak mungkin,  tapi kamu sudah kasih tahu aku soal pemilik sebelumnya."

"Enggak, aku kan belum memberitahumu soal kakek itu. Kamu ingat, kan, beberapa hari yang lalu kamu langsung pergi tanpa mendengarkan penjelasan dariku." Perkataan Vin membuatku tersenyum kikuk.

Benar. Sebelum ini semua terjadi, Vin bilang kalau dia melihat peri di dalam rumahku. Dia melihat si kakek---pemilik rumahku sebelumnya---bersama para peri. Dia juga pernah menyuruhku untuk masuk ke dalam ruangan di bawah piano, di ruang utama kedua, ruangan yang membuat kami terjebak di dalam negeri ajaib ini. Bukankah seharusnya dia lebih tahu dari aku soal portal ini?

"Ceritain, Vin," kataku, sambil menatap tajam.

Vin mengangguk, lalu mengambil ranting kayu yang rapuh di lantai. Entah anak aneh ini akan berbuat apa dengan ranting itu, atau mungkin salah satu kebiasaannya memegang sesuatu untuk membicarakan hal yang tak ingin dibicarakan, hal yang membuat gugup, takut, takjub. Karena kadang aku juga seperti itu; memilin sisa benang baju ketika mengadu sesuatu pada Ayah.

"Aku lahir di Amerika, tepatnya di Florida---"

"Aku pengen dengar tentang kakek itu, Arvin."

"Iya, iya. Dengarkan dulu, ini awal mulanya." Vin melipat bibirnya gemas, membuat beberapa Faega yang duduk manis di hadapan kami tertawa. "Lalu pindah ke Indonesia dan tinggal di sana. Sampai kemudian orang tuaku cerai. Saat perceraian itu terjadi, ayahku mabuk berat dan aku kewalahan menghadapinya. Saat beliau marah besar dan hendak melempar adikku dengan kaca, kakek dari rumah besar di sebelah rumahku datang dan mendorong ayah.

Dia membawaku dan adikku ke rumahnya tanpa berkata apa pun, memberikan kami makan dan baju hangat."

"Dia orang yang baik," kata bibi Magred, ikut duduk di sebelahku.

Vin mengangguk dan melanjutkan, "Kami tinggal di rumahmu dua hari sampai ayah kembali sadar. Dan selama aku di rumahmu, aku melihat kalian," Vin melirik ke arah bibi Magred dan Faega bergantian. "Nyanyian yang indah, membuat segala ketakutan dan tangis adikku mereda. Dulu kalian tampak dekat dengan kakek itu."

"Kamu tahu siapa nama kakeknya?" tanyaku.

Vin menelengkan kepala, menatap ke atas dengan bibir yang cemberut. Tampaknya dia berpikir keras layaknya sedang mengerjakan soal matematika.

[END] MellifluousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang