04. Semuanya Masih Terasa Sama

80 23 20
                                    

Meski Vin orang yang aneh, ketika aku mengenalkannya pada Ayah, mereka dapat langsung akrab dibandingkan denganku. Vin juga membantu kami mengangkat kayu, membantuku mengoleskan cet dinding, bahkan sentuhan akhir untuk berkebun, Vin rela mengotori pakaiannya-dia berguling di tanah, lalu duduk ketika berhasil menanamnya. Dia benar-benar orang yang aneh. Meski aku tahu tujuannya datang ke rumah karena ingin menilai kami sebagai "pendatang baru" yang akan menempati rumah ini, tetap saja ada yang janggal.

Ah, ya. Soal para peri. Vin memberi tahu tentang keberadaan "peri" di rumah ini. Ini yang menjadi topik utamanya selain ingin-tahu-pemilik-rumah-baru. Tapi ketika aku memintanya untuk bercerita lebih banyak, dia menjawab dengan blur, selebihnya meracau tidak jelas. Saat itu pula, Ayah yang akan membalas semua racauan Vin dengan tawa. Mereka benar-benar serasi.

Namun, Vin juga mencurigakan. Ketika kami telah selesai melakukan renovasi rumah (cepat karena banyak yang ikut kerja), Ayah mengajak Vin untuk makan bersama. Saat di ruang makan, kulihat Vin sering melirik ke arah ruang tamu kedua. Aku semakin dibuat tidak nyaman dengan tingkah lakunya sore itu.

Sampai malam tiba, ketika Vin pulang ke rumahnya, suasana sudah kembali tenang, Ayah sudah tidur, dan aku yang masih terjaga-memilih turun ke bawah untuk memeriksa ruang tamu kedua. Aku penasaran, apa yang sebenarnya diperhatikan oleh Vin saat sore tadi? Apa dia menginginkan piano itu? Lagi pula, memang tidak digunakan. Baik olehku atau oleh Ayah. Jika memang dia mau, kenapa tidak bilang saja? Aku yakin kami dapat memberikan piano itu padanya.

Aku duduk di sofa ruang tamu utama sambil menyalakan televisi dengan suara kecil. Tidak terlalu takut sebenarnya, hanya saja jika aku berpikir ini adalah sebuah adegan film dari Insidious, tentang pintu sewarna merah yang misterius, mungkin sekarang aku tengah gemetar.

Sha.... Ga! Ga! Iru~na ....

Aku terdiam. Segera aku mengambil remote televisi dan mengecilkan volumenya. Paduan suara itu muncul lagi.

Hanabi iruna madzketoh ....

Aku menajamkan pendengaran. Mataku melirik ke arah sekitar, berusaha mencari asal suara.

Menghilang. Suara itu tidak lagi muncul.

Hawa dingin yang sama seperti yang dirasakan saat malam kemarin setelah mendengar suara tadi menusuk kulit, aku mulai gemetar. Ada yang salah dengan rumah ini, atau ada yang salah denganku?

Sha.... Ga! Ga! Iru~na ....

Aku bangun dari duduk. Paduan suara ini seperti lagu-lagu yang dinyanyikan para pemain orkestra, atau OST film Frozen sebagai opening. Bedanya, suara ini lebih lembut disertai bunyi lonceng. Ketika mendengar alunannya, seolah aku hanya mendengar suara itu-menghiraukan suara lain; serangga, televisi, atau mungkin dering telepon.

Dering telepon?

Aku mengerutkan alis dan menutup kedua telinga. Suara itu seperti hipnotis. Memang indah dan lembut, suara ini dapat membuatku tenang, tapi mungkin saja berbahaya. Segera, aku menaikkan kembali volume televisi, lalu mengangkat telepon rumah yang sedari tadi berdering.

"Halo?" Jantungku berpacu cepat sekali. Lagi pula, siapa yang meneleponku malam-malam begini, sih?

"Rin?" Aku terkejut, lantas menaikkan kedua sudut bibir.

"Vin! Ah, kamu bikin kaget."

"Hah?" Vin di seberang sana tergelak. "Aku kan, enggak di dekat kamu buat ngagetin, Rin. Aku ada di rumah, jaraknya cukup jauh."

[END] MellifluousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang