Bagian Tiga: The Magic of Friendship:

60 9 5
                                    

Friends are those rare people who ask how we are and then wait the answer.
Et Cunningham

Aku termenung di dekat dermaga Loulei pagi ini. Menghindar dari para Elfam dan Elf, menghindar dari tatapan iba mereka. Oh, bagus sekali sekarang. Ayah menghilang. Di sini. Di dunia peri yang tentu saja tidak ada polisi atau tim investigasi. Di dunia ini penuh dengan marabahaya, aku sendiri yang melihatnya--para Orc--dan mungkin ada bahaya lain yang belum aku tahu.

Sungguh, cerita ajaib ini akan selesai jika kami bertiga pulang sekarang. Lalu aku akan berbicara pada Bunda, dan urusanku di dunia peri selesai sudah.

Sayang, Ayah menghilang. Tentu aku tidak bisa pulang tanpanya. Meninggalkannya di sini, sementara portal akan ditutup selamanya.

Aku menghela napas lagi. Semua ini salahku. Jika saja aku tidak begitu marah dan nekat masuk ke dalam ruang bawah tanah, mungkin Ayah tak akan menghilang. Kami tak akan tahu-menahu soal Qion, dan apa yang akan terjadi di Faegufler. Karena sejak awal itu tak ada hubungannya denganku.

Seseorang duduk di sebelah. Itu Arvin. Dia ada di sini juga salahku.

"Apa perasaanmu sudah membaik?" tanya Vin.

Aku mengangguk, kemudian menggeleng. "Aku ... enggak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang, Vin." Aku menggenggam kalung di tangan. "Aku pengin cepat pulang, tapi gimana sama Ayah? Aku gak bisa tinggalin Ayah di sini." Di dunia yang asing, di dunia yang tidak dikenalnya, di dunia yang penuh marabahaya dan misteri.

"Hei," Vin menyentuh bahuku, membuatku menoleh padanya, bertatapan. "Jangan khawatir, kita bisa mencari ayahmu bersama."

"Hanya kita berdua?" tanyaku.

Vin menggeleng. "Rin, aku enggak tahu apa yang terjadi sama kamu selama ini, tapi dari pengamatanku, kamu orang yang enggak mau merepotkan orang lain dan terlalu menekan diri kamu sendiri."

Aku menatapnya bingung.

Vin meluruskan pandangan, menatap ke arah air. "Apa kamu benci kedua orang tuamu setelah tahu apa yang terjadi?"

Aku tidak menjawab.

"Kata ibuku dulu, di sana banyak sekali hal-hal yang kadang butuh waktu untuk dijelaskan." Dia mengayunkan kakinya. "Entah itu misteri dunia tentang lubang hitam, mengapa air tawar dan air laut dapat bertemu tapi enggak bisa bersatu, mengapa banyak hal terjadi tanpa bisa kita duga, apa alasannya, apa pertanyaannya, apa jawabannya. Dari hal-hal kecil juga termasuk; bagaimana caramu menyelesaikan soal matematika yang begitu rumit tanpa perlu waktu menjawabnya? Kita semua butuh waktu."

Vin mendongak, menatap langit cerah tanpa awan. "Begitu juga ibu dan ayahmu, Rin. Mereka butuh waktu untuk menjelaskannya padamu. Bukan karena ingin menutupi atau berbohong, mereka punya alasannya sendiri kenapa berbuat seperti itu."

"Tapi kenapa aku harus tahu dari orang lain, Vin?" Aku bertanya dengan sedikit menaikkan nada suara, "kenapa harus Chantal? Kenapa harus dari orang yang jahat sama aku?"

Vin menatapku, dia tersenyum. "Apa salahnya jika kamu dengar itu dari orang lain?" Dia menyentuh tanganku. "Memang sulit menerima apa pun dari orang yang jahat sama kamu, tapi bukan berarti kamu harus menolak kenyataan yang ada. Jangan karena kamu enggak suka cara orang itu memperlakukanmu, kamu jadi membenci dirimu sendiri. Kamu menolak hal-hal yang memang sudah saatnya kamu tahu meski dari orang lain. Sekalipun orang itu orang yang jahat sama kamu.

"Rin, seseorang dapat membenci dan merasa suka ketika ada alasannya."

Aku menunduk lagi.

"Apa kamu pengin terus bimbang kayak gini tanpa melakukan apa pun?" tanya Vin.

[END] MellifluousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang