Bagian Empat: Happily Ever After:

35 6 0
                                    

As is a tale, so is life; not how long it is, but how good it is, is what matters.
Seneca

Ada suara grasah-grusuh yang terdengar samar dari kejauhan, percikan api, dan bisik-bisik. Karena suara itu, aku jadi membuka mataku dan mendapati langit gelap berpendar indah, ada titik-titik bintang yang begitu banyak di atas sana. Angin sepoi-sepoi menenangkan, suara gesekan daun yang berhimpitan.

Pelan tapi pasti, aku menolehkan kepala ke arah kanan. Ada api unggun dan beberapa Elfam yang tengah duduk. Ah—benar, tragedi perang dadakan tadi telah terjadi. Aku membunuh dan melihat seseorang mati tepat di hadapanku untuk pertama kalinya. Melihat seseorang terluka karena melindungiku. Teriakan frustasi, adegan 21+ dengan genre gore yang biasanya hanya dapat kulihat dari komik dan film—kini aku merasakannya langsung.

"Rin?" Suara Vin memanggil ketika aku mencoba bangun. Melihatku yang berusaha duduk susah payah, dengan sigap dia membantu. Aku belum berani menatap wajah Vin, merasa bersalah karena membuatnya terluka seperti ini.

"Kamu baik-baik saja?"

Aku tidak menjawab, menunduk lesu menatap ke arah tanah.

"Erina." Emile datang dan duduk di hadapanku, lantas aku mengangkat wajah dan melihatnya yang bermata sembab. Mimiknya begitu lelah, hidung dan pipinya merah. Emile banyak menangis. "Terima kasih, sudah menyanyikan mellifluous untuk kami," katanya, dengan senyum tipis sembari memegang tanganku yang dingin.

Para Elfam yang ada di sekitar ternyata menatapku dan tersenyum. Mereka semua terluka, tetapi masih bisa tersenyum? Bukankah mereka juga banyak kehilangan? Bukankah para Orc dan Yowa itu jahat sekali?

Bagaimana bisa mereka tersenyum setelah mengalami kejadian mengerikan seperti tadi? Lantas bagaimana dengan Qion?

"Qion ...?" tanyaku dengan suara lemah.

Air mata Emile jatuh lagi. "Pangeran belum sadarkan diri. Dia menggunakan kekuatannya yang tersisa untuk menyelamatkan kami semua yang terluka."

Aku mendengarkan.

"Lalu ..., kami menunggumu bangun, untuk mengantarkan mereka yang telah gugur dengan mellifluous. Bolehkah, Rin?"

Aku menunduk, melipat bibir. Padahal aku berharap dengan tak sadarnya aku ini pemakaman seperti itu sudah berlalu. Aku tidak ingin menghadirinya, aku tidak ingin melihatnya. Entah kenapa masih terasa sulit bagiku merelakan seseorang yang kukenal. Lihatlah sekarang, karena serangan tadi banyak nyawa melayang. Banyak yang terluka. Qion, Arvin, bahkan perginya Bibi Magred ....

.... Aku, tidak bisa.

"Maaf ...," kataku, lalu menghela napas sumbang. "... Aku gak bisa."

"Erina," panggil Vin, membuatku menoleh ke arahnya.

Ah, wajah yang belum ingin kulihat. Bocah konyol itu sekarang babak belur. Lebam di pelipis kanan dan bawah bibirnya tampak jelas. Luka goresan dari cakaran makhluk hijau mengerikan itu juga tergambar di pipi dan, lengannya, dibalut perban. Terlebih lagi tatapannya yang hangat itu menusuk jantungku. Apakah aku memang seorang pembawa sial? Kenapa orang-orang di sekitarku kalau tidak jahat ya pasti terluka? Bagaimana jika saat itu Vin terluka jauh lebih parah dari sekarang?

Bagaimana jika aku kehilangannya juga?

"Aku tahu kamu takut karena aku juga ngerasain hal yang sama. Tapi, Rin, kita sudah sejauh ini." Aku menatap Vin yang berbicara seperti itu dengan alisnya yang berkerut. "Kita harus terus berjalan."

"Kami mohon bantuanmu, Rin," kata Ael, datang dari belakang.

Aku lantas menunduk, lalu mengangguk kecil.

[END] MellifluousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang