Bagian 1: Kutukan

8.5K 393 7
                                    

Ibu bilang, aku ini anak terkutuk. Aku yang menyebabkan kematian mama dan membuat papa jatuh sakit. Dasar hipokrit. Bisanya menyalahkanku. Jika memang begitu kenyataannya, seharusnya ia berterima kasih padaku, karena papa sakit, ia bisa mengambil alih seluruh harta yang mama dan papa kumpulkan sejak tiga puluh tahun yang lalu.

Oh ya, wanita itu bukan ibu kandungku. Ia adalah wanita yang papa nikahi dua tahun lalu. Awalnya ia begitu baik. Sangat ramah, dan kupikir, ia dapat memahamiku dan adik-adikku. Namun, setelah papa jatuh sakit, tepat enam bulan setelah pernikahan mereka, wanita itu berubah menjadi seperti penyihir jahat. Ia bersikap baik hanya saat berada di kamar papa.

Satu setengah tahun yang lalu papa kecelakaan dan kemudian terserang stroke saat masa pemulihan. Sejak saat itu, ibu berubah. Ia mengancamku dan adik-adikku, jika berani menceritakan semua yang kami alami, ia akan membuat papa semakin menderita. Ah, sungguh seperti drama di televisi. Tapi aku tidak bisa menyalahkan papa, karena aku yang menyuruh papa untuk menikah lagi. Lalu tentang kutukan, sedikitnya selalu terpikir olehku, bahwa ucapan ibu ada benarnya.

Pernikahan mama dan papa tidak pernah disetujui oleh orangtua mama. Mereka melarikan diri dan tinggal di sini, di Indranila, yang merupakan kota kelahiran papa. Aki, kakek dari pihak papa, memang tidak memiliki hubungan yang baik dengan papa, tapi aki sangat menyayangi mama. Sayangnya kami, anak-anak papa, dilarang menemui aki semenjak dua tahun yang lalu, saat papa memutuskan untuk menikahi Rini, ibu tiriku itu. Aki dan papa bertengkar hebat, karena aki tanpa mengemukakan alasannya, tidak pernah menyukai ibu, yang pada saat itu memang seperti malaikat. Kami mengerti sekarang.

"Aya!!!" Suara nenek sihir itu membuatku tersadar dari lamunanku. Aku segera berlari ke arahnya.

"Enggak perlu teriak, Bu, Aya udah bangun dari tadi."

"Dasar anak kurang ajar. Menjawab terus," balasnya lagi.

Telunjuknya menunjuk ke arah baju-baju kotor yang tergeletak di segala penjuru. Baju-baju Stefani dan Agnes, anak-anaknya. Putri yang ia bawa dari pernikahan sebelumnya. Dua babi pemalas, begitu aku menyebut mereka. Sembari mengumpulkan pakaian-pakaian itu, aku melirik ibu yang sedang memasak. Jujur saja, ia memang cantik, meski mama jauh lebih cantik. Tapi... ia semakin cantik saja dan wajahnya begitu berkilau seperti para ibu konglomerat yang kulihat di drama Korea. Padahal katanya kami sedang kesulitan keuangan. Ya, karena papa sakit, ia yang mengambil alih toko. Kinanti - Cook & Bake Shop, toko dua lantai yang mama dan papa bangun sejak aku masih kecil.

Biasanya yang mengurusi cucian adalah Kirana, adik bungsuku. Tanpa perlu disuruh. Tapi ia pergi pagi sekali hari ini. Katanya ia dan teman-temannya harus mempersiapkan panggung untuk ujian kabaret di pelajaran sastra Indonesia. Sedangkan Arya, adik keduaku, pasti saat ini sedang mengurusi papa di kamar. Ibu hanya mengurusi papa di satu bulan pertama saja. Belakangan ia beralasan sibuk di toko. Lalu bagaimana dengan Stefani dan Agnes? Tentu saja mereka masih tertidur lelap di kamarnya. Tak pernah lagi mereka bangun pagi dan membantu membereskan pekerjaan rumah, semenjak papa sakit. Andai aku sendirian, aku ini sudah seperti Cinderella.

"Enggak lama lagi kamu ulang tahun ke-22. Seminggu sebelum dan sesudah tanggal ulang tahunmu, ibu dan anak-anak akan tinggal dulu di Bogor," ucapnya saat aku kembali ke dapur.

Bangsat. Rutukku dalam hati.

"Ibu taku-"

"Celaka, 'kan? Enggak usah dipertegas, Bu. Aya masih ingat selalu ucapan yang selalu ibu ulang-ulang itu."

"Baguslah kalau kamu ingat. Ini tolong bantu aduk, ya, sampai airnya agak berkurang. Ibu mau dandan dulu, sambil bangunin anak-anak."

Itulah 'kutukan' yang membuatku bertanya-tanya. Apa memang aku ini membawa kutukan atau pembawa sial? Saat aku berulang tahun ke-16, aku kehilangan sahabatku, Nova, yang kecelakaan sepulang dari pesta ulang tahunku. Saat ulang tahun ke-18, aku kehilangan mama, dan dua tahun lalu, aku hampir kehilangan papa. Aku selalu teringat percakapan mama dan aki bertahun-tahun yang lalu.

Permaisuri Kerajaan UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang