Bagian 6: Apa Yang Kamu Lihat?

3.7K 327 7
                                    

Sungguh pagi yang canggung. Kami semua, kecuali papa, berkumpul di meja makan untuk sarapan. Sesekali aku melirik ibu dan dua anaknya itu. Ada sedikit merasa bersalah di wajah ibu. Bukan, bukan merasa bersalah pada kami. Melainkan pada dirinya. Mungkin ia menyesali telah berteriak pada kami tadi malam. Bagaimanapun, ia harus baik-baik pada kami jika menginginkan apa yang ia inginkan. Aku memutuskan untuk diam, karena sesungguhnya aku masih merasa kesal pada mereka. Mengatakan hal yang tidak-tidak tentangku. Seandainya aku benar melacur pun, sungguh bukanlah urusan mereka. Aku segera menghabiskan makananku, lalu menyimpan piring di tempat cucian.

"Aya berangkat duluan, Bu." Aku mengulurkan tangan pada ibu, agar bisa mencium tangannya. Tapi ia tidak membalasnya. Ibu menghindar dan berdiri.

"Ayo, anak-anak, kita berangkat," ajaknya pada Agnes dan Stefi. Keberadaanku seperti angin saja sepertinya. Akhirnya aku pun keluar dari rumah sebelum mereka, karena ojek yang kupesan sudah menungguku. Mungkin mereka berpikir, aku akan kesal, karena merasa diabaikan. Tapi tentu saja tidak. Aku tidak peduli dan tidak akan merasa rugi.

Beberapa menit kemudian aku tiba di depan hotel dan Jay sudah ada di sana. Tentu saja aku kaget, karena ia tak mengatakan apapun padaku.

"Bang Jay? Ngapain pagi-pagi di sini?" tanyaku. Namun sesaat ia melihatku keheranan, mungkin karena hari ini aku mengenakan rok pendek dengan blus tipis berwarna pastel. Ia memang baru kali ini melihatku memakai rok dan wedges.

"Aya?"

"Iya lah. Siapa lagi?"

"Kamu nggak kesambet, 'kan?" katanya. Aku tertawa.

"Ini Kirana yang nyuruh," jawabku sambil melihat rokku sendiri. "Jadi, ada apa nih?"

"Bisa ngobrol sepulang kerja nanti?"

"Kirain ada apa. Kenapa nggak chat aja sih?" Jay nyengir, tanpa menjawabku. "Nanti aku kabari via chat ya, Bang. Kemarin juga aku pulang malam."

"Oke deh. Aku tunggu. Kabari ya. Aku ke kantor dulu." Jay mengenakan helmnya.

"Oke, Bang. Hati-hati ya." Ia mengangguk, lalu menyalakan motornya dan pergi.

"Pacarnya neng Aya?" tanya pak Arif tiba-tiba.

"Eh bapak. Bukan, Pak. Cuma temen," jawabku.

"Kirain pacarnya. Sering kesini kan ya?" Aku menjawabnya hanya dengan senyuman. Aku berpikir, mungkin itu doa.

"Temen tapi tatapan kamu beda." Suara lainnya muncul lagi dari belakangku. Devi.

"Apa sih, Dev?"

"Kami ke dalam dulu ya pak," ujar Devi pada pak Arif. Bapak yang ramah itu mengangguk pelan.

"Ada harapan di tatapan kamu, Ya. Harapan yang sudah kamu simpan sangat lama." Mendengar ucapan Devi itu aku terdiam.

Bagaimana dia bisa tahu?

"Kamu pasti mikir, kenapa aku bisa tahu kan?" Aku menghentikan langkah dan menatap Devi yang juga menghentikan langkahnya sesaat setelah aku berhenti.

"Kamu siapa sih?"

"Devi. Devina Ariesta." Ia menunjukkan namanya yang tertera di badge padaku.

"Aku yakin kamu tahu maksudku, Dev," balasku. Kesal.

"Aku hanya perempuan biasa yang sedikit berbeda dengan yang lain." Devi tersenyum dengan santainya.

"Ikut aku." Aku menarik tangannya melewati pintu menuju posnya dan membawanya ke ruanganku yang masih sepi.

"Jelasin. Semuanya."

Biasanya aku tidak tertarik pada hal seperti ini. Tapi Devi baru saja mengenalku dan ia menangkap sesuatu tentang perasaanku. Aku anggap itu adalah keanehan lain yang kesekian kalinya terjadi di hidupku belakangan ini. Devi masih diam tersenyum seperti seorang psikopat.

Permaisuri Kerajaan UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang