Bagian 24: Sebuah Sore di Surga (END)

3.3K 322 20
                                    

Laras mengatakan bahwa aku tertidur selama lebih dari 12 jam. Padahal seharian kemarin aku hanya duduk di taman istana bersama Laras. Tidak berjalan jauh, bahkan tidak ke kota. Laras mengajarkanku merajut dan aku sudah mulai bisa merajut dengan rapi. Aku memang pembelajar yang cepat. Siang ini, paman memintaku untuk ke aula istana. Laras mendandaniku dengan cantik seperti pengantin sunda, meski dengan riasan yang lebih sederhana dan kebaya hitam beludru yang kukenakan. Bagiku ini berlebihan, tapi menurut Laras, aku akan menyambut kedatangan beberapa tamu. Karena raja tak ada, maka patih dan aku yang akan menyambutnya.

"Biasanya hanya patih Jagatri yang akan menerima tamu, Nyai. Tapi kali ini mungkin Nyai mengenalnya," ujar Laras.

Aku duduk di singgasana raja yang sama sekali tak semewah yang kubayangkan. Tak ada tahta indah bagi raja. Ini hanya kursi biasa. Kursi yang sama dengan kursi-kursi lainnya yang berbaris di kiri dan kananku. Bedanya, kursi ini berwarna hitam dan hanya sendirian di sini. Menjadi pusat semua perhatian. Paman Jagatri sudah duduk di kursi barisan sebelah kiri. Tak lama kemudian pintu dibuka. Seorang lelaki paruh baya mendekat. Ia hanya mengenakan sandal kulit, celana coklat polos dan kemeja berwarna gading. Tanpa membawa apapun. Raja Pangauban! Kenapa dia ada di sini?

"Sampurasun Nyai Ratu," sapanya. Tentu saja aku membalas sopan santunnya.

"Rampes, Yang Mulia Lingga Kancana," jawabku. "Silakan, Yang Mulia." Aku memintanya untuk duduk.

"Terima kasih, Nyai Ratu." Aku masih terheran-heran dengan gaya pakaiannya, meski karismanya tetap kuat, tak terpengaruh oleh pakaian dan juga ukuran tubuhnya yang sedikit lebih kecil. "Ini tubuh manusia saya, Nyai. Kesepakatan tetap kesepakatan," katanya.

"Ah Anda benar, Yang Mulia. Hampir saya lupa."

"Saya kemari untuk meminta maaf pada Nyai Ratu dan Raja Direndra. Rupanya pangeran Winaya memang bersekongkol dengan Infinité. Saya juga tidak tahu, sungguh."

"Iya, Yang Mulia Lingga Kancana. Saya dan raja baik-baik saja, meski raja masih pemulihan. Tapi, apa yang terjadi dengan pangeran Winaya?"

"Itulah maksud, saya datang kemari. Saya akan menyerahkan Winaya pada Yang Mulia Direndra. Meski hingga kini kami juga tidak tahu dimana keberadaannya. Hanya saja, seandainya Raja Direndra akan memberi pelajaran, pangeran Winaya sudah bukan lagi bagian dari Pangauban." Sang Raja menghirup nafasnya yang berat. Orang tua mana yang akan tega melihat anaknya dihukum. "Tapi Winaya, sudah melakukan kejahatan besar tanpa saya ketahui. Sudah banyak sekali kaum kami dan manusia yang dijadikan eksperimen hingga kehilangan nyawanya. Itu adalah corengan terburuk bagi Pangauban selama beberapa abad terakhir," lanjutnya.

"Bukankah itu berarti Pangauban akan kehilangan putra mahkota?" tanyaku.

"Saya memiliki delapan putra, Nyai Ratu. Meski tetap saja, ada yang terasa sakit di sini." Ia menepuk dadanya dan aku tahu dia sedang menahan sesak. Rupanya para raja negeri yang disebut negeri siluman ini memiliki hati yang lembut. Sama seperti suamiku.

"Maaf, Yang Mulia," ucapku lirih.

"Tak perlu meminta maaf, Nyai. Ini kesalahan saya dalam mendidik anak-anak saya." Sempat tersirat amarah untuk aku luapkan padanya, begitu melihatnya. Tapi aku tak menyesali, telah meredam egoku. Rupanya dia orang yang baik. "Baiklah, saya harus pamit, Yang Mulia Ratu, Patih Jagatri." Ia berdiri. Aku pun berdiri.

"Selamat jalan kembali ke rumah, Yang Mulia," ucapku.

Paman Jagatri mengantarnya hingga keluar dari aula. Aku hendak berdiri saat Laras menahanku dan menggeleng. Memberi isyarat padaku untuk tetap di sini. Aku kembali membenahi dudukku, menunggu siapa lagi yang akan masuk.

"Aya..."

Aku mengangkat kepalaku dan melihat ke arah pintu masuk.

"Papa?" Aku berdiri lagi. Papa berjalan cepat menghampiriku. Di belakang papa ada aki dan paman Jagatri yang melihat ke arah kami. Papa memelukku.

Permaisuri Kerajaan UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang