Bagian 9 : Bertemu Papa

3.5K 326 7
                                    

"Apa yang sudah kamu lakukan, Nak?"

Tiba-tiba papa bertanya padaku, saat Kirana dan Arya tak berada di kamar.

"Apa maksud papa?"

"Keajaiban itu nggak ada, Aya." Terhenyak hatiku mendengar ucapan papa, "Papa tahu papa menyusahkan kalian. Seharusnya kalian membiarkan papa pergi."

"Papa!" Aku meremas tangan papa, "Aya nggak melakukan hal yang merugikan Aya. Papa tenang aja."

"Benar kan kamu melakukan sesuatu? Apa yang aki ajarkan ke kamu?" ucapan papa kali ini terdengar lebih tegas.

"Nggak ada hubungannya sama aki, Pa."

"Jangan bohong sama papa, Aya."

"Demi Tuhan, Aya nggak bohong sama papa," jawabku. Papa terdiam mendengarnya.

"Ayo, Pa!" ujar Arya yang tiba-tiba masuk. "Urusan administrasi sudah selesai." Arya melirikku.

"Hah? Teteh belum bayar apa-apa, Ya." Tentu saja aku kaget. Bagaimana bisa sudah terbayar?

"Kayaknya teteh punya fans nih," goda Arya.

"Siapa yang bayarin? Bang Jay?" tanyaku.

"Bukan. Namanya Rendra. Ciyeee... Teteh diem-diem punya pacar." Aku diam. Papa memicing padaku.

"Udah. Ayo pulang dulu." Papa menutup segala godaan tengil dari adikku itu.

Papa tidak mengajakku bicara hingga akhirnya taksi yang mengangkut kami sampai di depan rumah. Mobil putih papa masih belum juga kembali. Aku bisa melihat ekspresi papa saat kedua matanya melihat garasi. Arya yang sudah sampai lebih dulu, menunggu di pintu masuk.

"Penyihir itu belum pulang?" tanya papa. Aku dan Kirana saling tatap, kemudian tatapan kami, termasuk Arya, jatuh pada papa. "Apa? Kalian pikir hanya kalian yang dia bully?" Kami sungguh tidak tahu, ibu seberani itu, "Bantu papa. Kita bekerja sama untuk menipunya." Kami bertiga tersenyum senang.

"Tapi rencananya gimana, Pa?" tanya Kirana sambil menutup pintu.

Papa menyuruh Kirana mengunci pintu, sementara Arya mengambilkan minum untuk kami berempat. Kami duduk di meja makan. Sungguh perasaan nyaman dan atmosfir bernama rumah itu kembali terasa detik ini. Haru dan bahagia bercampur. Sejenak aku akan melupakan si pangeran ular playboy itu. Pangeran? Aku bahkan tidak tahu siapa dia sebenarnya. Tapi saat ada dirinya, diriku ini memang seperti tersihir.

"Papa akan menghubungi Amril, lalu memasang kamera tersembunyi dan perekam suara di beberapa bagian rumah ini. Terutama kamar papa."

Aku dan adik-adikku mengangguk-angguk. Setuju.

"Papa tidak pernah sembuh. Lupakan hari ini. Mumpung tidak ada saksi mata. Kita kumpulkan bukti. Sejauh mana penyihir itu berbuat kurang ajar pada keluargaku." Mendengar itu, kami bertiga memeluk papa. Kami menangis. Bahagia karena papa akhirnya sembuh dan kami mengerti apa yang dimaksud papa.

Hampir tengah malam dan sepertinya penyihir itu belum berani pulang. Oleh karena itu aku dan papa masih duduk berdua di balkon belakang rumah ini. Lebih tepatnya, papa sedang menginterogasiku dan belum satu pun dari pertanyaannya sejak papa sampai di rumah ini, yang kujawab.

"Aya, papa seperti sedang bicara dengan tembok ini. Papa nggak akan marah, Ya. Cerita sama papa, apa yang sudah Aya lakukan?"

Entah mengapa wajah Jay yang muncul di kepalaku saat ini. Senyuman dan suaranya tiba-tiba mengusik dan melemahkan tekadku untuk memegang kesepakatanku. Aku tahu diri dan tidak pernah ingin memilikinya. Apalagi saat mengingat ucapan Devi tentang benang gaibnya itu. Tak ada yang menghubungkanku dengnan Jay. Tapi, sungguh aku ingin tahu, apakah ia pernah memiliki rasa yang lain untukku. Aku penasaran.

Permaisuri Kerajaan UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang