Bagian 17: Dunia Lain

3.2K 266 3
                                    

Sudah seminggu aku dan Rendra tinggal di rumah papa. Papa yang memintanya. Begitu papa tahu, kami selesai 'berbulan madu' di Salaka Asri, papa menyuruh kami tinggal di rumah setidaknya beberapa hari saja. Tapi ini sudah lebih dari enam hari dan papa belum melepas kami. Tadi malam Rendra dibuat pusing oleh papa, karena papa bertanya dimana kami akan tinggal selanjutnya. Ia hanya menjawab, sementara akan tinggal di penthouse miliknya di tengah ibu kota provinsi yang masih belum terjual. Ia sedang berusaha menjualnya karena ia ingin membeli rumah. Tentu saja ia berbohong. Namun akhirnya ia berpikir untuk membuat rumah, agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Samar-samar aku mencium aroma tubuh Rendra yang selalu seperti itu. Tak bisa kugambarkan, karena tak ada parfum yang mampu menyaingi aroma tubuhnya. Ia sudah kembali. Tangannya mengusap kepalaku perlahan. Kulirik jam meja di nakas, masih jam lima pagi.

"Terbangun ya?" bisiknya yang kemudian ia berjalan ke arah lemari lalu membuka pakaiannya.

"Ambil piyama yang baru di laci lemari paling bawah saja," kataku sedikit serak.

"Lho? Yang kemarin masih bersih kan?"

"Aku menumpahkan susu coklat ke piyama kemarin," jawabku.

"Oh baiklah."

Ia sudah tidak ragu hanya mengenakan celana dalam dan berganti pakaian di hadapanku, padahal menikah pun belum lama. Aku masih sedikit merasa tak nyaman. Tapi ya bagaimana lagi. Tidak mungkin kan setiap ia berganti pakaian harus ke kamar mandi? Meski letak kamar mandi tepat di depan kamarku.

Rendra kemudian berbaring di sebelahku. Ia tak pernah bermalam di sini. Sepertinya saat ia pergi, ia tak pernah tertidur. Karena setiap kembali kemari ia selalu tertidur pulas dan lama. Sejak dua hari yang lalu papa selalu mengejekku karena katanya terlalu menyiksa Rendra di ranjang, sampai-sampai Rendra baru bangun sekitar jam 11 setiap harinya. Papa memang usil. Padahal kami tidak pernah bahkan sekadar berpelukan dalam tidur, kecuali saat aku tidak sadar dan saat bangun sudah memeluknya.

"Kamu kerja hari ini?"

"Tentu saja, pak bos," kataku sambil turun dari tempat tidur. "Tapi aku malas keluar, malas ketemu papa. Mulutnya jahil." Rendra tertawa sambil menenggelamkan kepalanya di bantal. Agar tidak terdengar ke luar kamar.

"Sabar ya," bisiknya. Mengejek.

"Berisik."

"Nanti sore aku jemput ya. Kita kencan," katanya santai dengan mata terpejam.

"Oke." Aku pun beranjak ke kamar mandi.

Di bawah guyuran air hangat yang mengalir dari pancuran, aku sedikit melamun. Berpikir sambil memejamkan mata. Tentang jalan yang telah kupilih. Aku seperti hampa, tapi sebetulnya tidak. Banyak yang tidak kumengerti saat ini. Setelah statusku menjadi istri Rendra pun aku masih banyak memiliki pertanyaan, karena seharusnya aku tidak menyukai pernikahan yang tidak masuk akal ini, tapi aku malah merasa nyaman.

Tiba-tiba aku membuka mata karena ada sesuatu yang dingin meraba perutku. Rasanya seperti tangan. Dengan sedikit gemetar, aku menunduk untuk melihatnya. Ada sebuah tangan berjari sangat panjang berwarna putih pucat melingkar di atas perutku.

"Aaaaaaah!!!"

"Bajingan, berani menyentuh istriku! Enyah." Dalam hitungan detik aku berada di pelukan Rendra. Masih dibawah shower yang menyala.

Tok. Tok. Tok. Tok.

"Aya? Kenapa?!" Suara di luar sana terdengar panik.

"Nggak apa-apa, Pa. Tadi Aya sedikit terpeleset. Aman," jawab Rendra sedikit berteriak.

"Oh iya," kata papa. Aku bisa mendengar papa menahan tawa. Tapi aku masih gemetar, ditambah Rendra sedang memeluk tubuhku tanpa sehelai kain pun.

"A-apa itu t-tadi?" Rendra kemudian membalut tubuhku dengan handuk. Ia juga mengeringkan rambutku.

Permaisuri Kerajaan UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang