Bagian 12: Titik Penjemputan

3.1K 294 8
                                    

Aku berjalan di belakang Rendra yang sedang menyisir bagian belakang Resort Salaka Asri. Aku masih kesal, karena ia seenaknya membawaku pergi, tanpa pengantar atau bertanya terlebih dahulu. Namun, sinar matahari dari celah-celah pohon yang tampak indah itu, seketika mengubah suasana hatiku. Indah sekali. Sepertinya aku lagi-lagi berada di zona lipatan alias dimensi transisi.
"Siapa yang mau bertemu denganku?" tanyaku.
"Kamu akan segera tahu."
Di mulut hutan, Rendra berhenti. Ia mengulurkan tangannya padaku. Aku menyambutnya. Segalanya terasa begitu melambat. Partikel-partikel kecil yang berkilauan terkena sinar mentari seperti taburan gemintang di siang hari. Ini adalah jalan yang pernah kulalui. Ya, benar. Jalan yang pernah kulalui.
"Aku pernah melihat gerbang ini. Ada kolam kan di dalamnya?" Rendra berhenti mendengar ucapanku.
"Kamu pernah melihat Cikahuripan?" tanyanya.
"Oh jadi benar, kolam itu Cikahuripan?" Rendra mengangguk.
Aku mengatakan padanya bahwa waktu itu ada yang menjaga dan aku tak diizinkan masuk. Bahkan aku sempat mengira, ini adalah tempat syuting. Mendengar penjelasanku, Rendra tertawa, tanpa merespon ceritaku. Kemudian gerbang itu terbuka dengan sendirinya dan pemandangan yang indah menyambutku. Sebuah kolam alam yang besar, berwarna biru nan jernih. Cikahuripan. Air kehidupan.
"Aya," panggil suara itu. Suara yang kukenal, datang dari sebelah kiriku.
"Ghe?" Sahabatku yang mengenakan celana jeans 3/4 dan blus berwarna pastel itu tersenyum padaku. "Kamu ngapain di sini?"
Sebentar, sepertinya ada yang tidak beres di sini. Sejak beberapa saat lalu, Rendra memunggungiku. Lalu, Ghea hanya tersenyum.
"Rendra, kenapa Ghea bisa ada di sini?"
Rendra berbalik lalu tersenyum.
"Tadinya aku nggak ingin lihat kamu lagi, Ya," ujar Ghea. "Tapi aku ingin berterima kasih sebelum pergi."
"Ke Inggris?" Aku menepis semua yang melintas di pikiranku.
"Maaf, Ya. Aku nggak bisa menemani kamu lebih lama lagi." Aku berusaha untuk tidak memikirkan apapun. "Iya seperti yang kamu pikirkan. Sepulang dari Indranila, aku nggak pernah sampai rumah. Mama dan papa menjemputku waktu itu, tapi kami bahkan nggak bisa meninggalkan jalan tol. Ada truk besar yang menghantam mobil kami. Kami semua luka parah dan masih berada di ruang ICU, tapi sepertinya kami nggak akan selamat."
"Nggak lucu, Ghe." Aku berpaling darinya dan hati kecilku berbisik, jika Ghea masih manusia, ia tak akan ada di sini. "Rendra, kenapa dia bisa ada di sini?" Kali ini aku mengadu pada Rendra.
"Aya." Tangan Ghea menarik lenganku.
"Jika dia hantu, dia nggak mungkin pegang aku, 'kan?" Aku masih menyangkal.
"Kamu tidak berada di duniamu, Aya," jawab Rendra. Hanya itu.
"Ini hari terakhirku berkeliaran ke tempat-tempat indah yang ingin kudatangi," ucapnya. "Aku berada di rumah sakit Waluya di kabupaten."
"Ghe, please, this is not real." Akhirnya Rendra menggenggam tanganku.
"Waktunya sebentar lagi, Aya. Kamu mau tetap menyangkal atau ingin mengantar sahabatmu?"
"Waktu apa?"
"Penjemputan."
"Ghe, ini semua nyata?" tanyaku. Ghea mengangguk dan menangis.
Aku segera memeluknya dan ikut menangis. Bagaimana tidak menangis, jika ini adalah kebersamaan kami untuk terakhir kalinya? Lama sekali kami menangis dan berpelukan. Saling meminta maaf, meski tak pernah ada pertengkaran berarti diantara kami. Kenangan bersamanya berdatangan seperti film dokumenter yang sedang diputar. Betapa ceriwisnya Ghea saat pertama kali bertemu di tempat registrasi ulang kampus. Saat itu ia langsung menyebutku dengan sebutan introvert. Ia adalah kawan pertamaku sejak masuk kuliah, meski saat itu sudah ada Jay sebagai kakak tingkat beda jurusan. Ghea mengajakku ke dunianya yang cerita penuh kata-kata. Ia satu-satunya kawan yang membuatku merasa nyaman, ketika yang lain hanya bertanya padaku sesekali saja. Ia pernah ada di masa-masa sulitku.
"Angga ada di sampingku dan nggak pernah pergi. Tolong sampaikan padanya, aku selalu mencintainya. Jika dia mencintaiku, tolong lanjutkan hidup. Ada gadis baik yang sedang menunggunya."
"Ghe..." Suaraku tersendat. Bagaimana bisa aku menyampaikan semua itu?
"Kalo kamu nggak bisa, nanti aku minta tolong Rendra aja," katanya santai. Tapi tangisku semakin menjadi.
Pantas saja ketika menginap di resort, Ghea begitu aneh. Mengatakan akan pergi jauh dan hal lainnya. Aku tidak menyangka karena Ghea tidak pernah sakit atau pun mengeluhkan apapun. Ia manusia baik yang sesekali keras kepala, namun ia lebih banyak memikirkan orang lain selama hidupnya. Sebut saja ia seorang filantropi, yang lebih banyak menghabiskan waktu di kelompok belajar untuk orang pinggiran, daripada denganku atau kekasihnya. Mungkin karena itu ia diberi kesempatan untuk berjalan-jalan sebelum benar-benar meninggalkan dunia.
"Kamu udah kemana aja?" tanyaku. Wajahnya tiba-tiba tampak antusias.
"Aku sudah mengunjungi Stonehenge, Hamburg Philharmonie, Yakutsk, Sitununggal dan akhirnya mata air ini." Ia menyebutkan tempat-tempat yang ia ingin kunjungi. "Hanya ketika kamu sudah jadi arwah, kamu bisa mengunjungi dua tempat terakhir," lanjutnya. "Atau ketika kamu berpacaran dengan raja Sarpaloka." Kami tertawa.
"Maafkan aku belum sempat memberitahumu," kataku. Aku memang berniat memberitahunya saat pernikahan sudah dekat.
"Iya, kamu jahat. Tapi nggak apa-apa. Pacarmu itu sudah memberitahuku. Baguslah. Aku nggak pernah suka sama Jay, sejak pertama kali kamu cerita. Aku harap, semua urusan dengan Jay sudah selesai," paparnya. Aku melihat ke arah Rendra yang selalu tidak pernah menyukai nama itu.
"Sudah, Ghe. Aku udah jadi milik Rendra sampai akhir nanti," kataku. Sedikit sarkasme, karena aku memang tidak bisa pergi lagi kemanapun semauku. Sudah terikat kontrak darah dengan Rendra.
"Wooooww... So sweet," ujar Ghea. Senang. Aku senang jika ia seperti itu. "Kamu cinta dia kan?" Sontak aku melirik Rendra yang bergeming menatap jernihnya air.
"Iya dong. Mana mau aku menikah dengan orang yang nggak kucintai, Ghe," jawabku. Asal.
"That's my girl."
"Ayo," ajak Rendra. Ia mengulurkan tangannya dan aku tak melepaskan genggaman tangan Ghea. Sekejap saja kami sudah berada di sebuah taman rumah sakit. Ada pohon beringin besar di sana, meneduhkan sekitarnya. Beberapa orang sedang duduk di bawahnya. Ada juga seorang ibu tua di kursi roda yang sedang bercengkrama dengan susternya. Tampaknya orang-orang itu tidak bisa melihat kami.
"It's time," ujar Rendra.
Di bawah pohon itu muncul sebuah cahaya yang lama-kelamaan membentuk sebuah lawang. Dua cahaya menjemput Ghea, seperti sedang mengulurkan tangan. Namun di dalam lawang sana, lebih banyak lagi cahaya yang sama. Aku dan Ghea beradu kening sambil memejamkan mata.
"Sampai nanti, Aya."
"Aku sayang kamu, Ghe. Pergilah dengan tenang."
Ghea menyambut uluran tangan itu. Untuk terakhir kalinya ia menoleh pada kami dan tersenyum. Lalu ia masuk ke lawang tersebut dan menghilang. Aku melepaskannya dengan tenang, meski ada sedikit sesak di hati, membayangkan ia tak akan pernah lagi kulihat di dunia ini. Aku meremas tangan Rendra yang besar itu.
"Cahaya tadi itu apa? Malaikat maut?" tanyaku.
"Cahaya dua tadi adalah ayah ibu Ghea, yang berpulang lebih dulu, dan cahaya-cahaya di dalam tadi adalah para buyut dan leluhur Ghea," jelasnya. "Ayo, kembali. Nanti hubungi Erni untuk izin. Aku akan mengantarmu kembali kemari." Aku mengangguk.
Aku pun kembali ke ruangan kantorku. Tidak ada yang berubah. Kulihat jam, aku hanya pergi selama sepuluh menit. Padahal yang kurasakan tadi sudah berjam-jam. Lalu aku segera menghubungi teh Erni untuk meminta izin, seperti yang diperintahkan Rendra tadi. Tak perlu berlama-lama menjabarkan alasan, teh Erni memberikan izin dengan mudahnya.
Rendra mengirimkan pesan padaku dan memintaku untuk menunggunya di depan rumah makan Padang di seberang hotel. Aku menurutinya. Ia menghargaiku, karena keinginanku memang seperti itu. Aku tak ingin terlihat dekat dengannya di depan pegawai hotel lainnya. Tak lama aku menunggu, ia menjemputku dengan Impala yang dulu pernah mengantarku juga. Aku akan berjalan ke sisi kanan, tapi Rendra menahanku. Ia keluar dari mobil lalu membukakan pintu untukku. Meski mobilnya berhenti di sebagian area parkir rumah makan, tetap saja mobil Amerika itu memakan banyak tempat dan bagian kanannya masih berada di jalan. Setelah aku masuk, ia memakaikan sabuk pengaman. Hal yang baru ia lakukan. Tentu saja aku tersipu, karena ia lelaki pertama, selain papa, yang pernah memasangkan sabuk pengaman padaku. Aku tersenyum.
"Apa kamu selalu seperti itu?" tanyaku saat ia masuk ke dalam mobil.
"Apa?" Rendra menyalakan mesin mobil.
"Memakaikan sabuk pengaman seperti tadi," jawabku.
Ia menggeleng. "Baru kali ini aku melakukannya. Dan memang, aku selalu ingin melakukannya," katanya diiringi senyum di wajahnya.
"Memangnya aku yang pertama?"
"Iya. Kamu orang pertama yang kuajak berkendara dengan Impala ini." Kali wajahnya berubah serius dan aku sibuk menangani detakan jantungku yang semakin cepat ini. Kukira Jay adalah satu-satunya makhluk yang romantis di muka bumi ini. Tapi...
Tapi... Ada apa dengan wajah itu?
"Kamu necis sekali, seperti malaikat maut di–" Aku menghentikan kalimatku. Kembali teringat pada tujuanku berada di mobil ini. Ingatanku kembali pada kepergian sahabatku. Yang tidak kumengerti adalah, setiap bersama Rendra, aku bisa melupakan beberapa hal yang membuatku kesal atau sedih. Aku sedikit tertunduk dan yakin, ia pasti mendengar hembusan nafasku yang seolah sedang membuang sesak. Tangannya yang besar itu mendarat sesaat di bahuku dan menepuknya dua kali dengan perlahan. Tangisku pun pecah.

***

Kami tiba di lorong besar yang terang, karena di sebelah kiri lorong itu adalah jendela yang besar. Lalu kami berbelok ke kanan, ruangan yang masih terang namun sarat dengan aroma kematian. Di ujung lorong sana aku melihat Angga alias Rangga yang duduk termenung dengan wajah yang berantakan. Aku mendekatinya.
"Ngga." Ia langsung merespon suaraku, menoleh padaku dan berdiri. Kami mendekat dan saling berpelukan. Pemuda ini menangis.
Bisa dibilang Rangga ini sangat mencintai Ghea. Ia mengejar Ghea sejak semester awal kami berkuliah, meski ia berkuliah di universitas yang berbeda dengan kami. Mereka berkenalan di acara ikatan mahasiswa sastra Inggris se-nusantara.
"Aya, gue harus gimana?" Rangga terisak. Aku membiarkannya menangis. Melihatnya seperti ini membuatku semakin sedih.
Menjelang siang, yang kutahu sebagai keluarga dari ibu Ghea, mulai berdatangan. Mereka semua menyapa dan memelukku, dan memeluk Rangga.
Aku tidak tahu bagaimana harus berkata-kata pada mereka, karena aku pernah mengalami kehilangan juga dan kalimat 'yang sabar ya' hanya terdengar sebatas pemanis saja. Rendra mengirim pesan padaku, bahwa ia akan meninggalkanku bersama Rangga dan keluarga Ghea. Ia berkata nanti malam akan kembali dan menjemputku. Kemudian aku menelpon keluargaku dan memberitahu kabar duka ini pada mereka terutama papa. Papa ingin menghadiri pemakaman sahabatku ini, namun kularang. Aku tak ingin rencana awal papa terbongkar sebelum waktunya.

"Hai, kamu," sapa seorang gadis. Padaku? Aku melirik kiri kanan, sepertinya memang padaku. "Iya kamu. Kamu introvert ya? Diem terus dari datang tadi," ucapnya santai. Seperti penguntit. "Ghea." Ia mengulurkan tangan padaku dengan senyumannya yang manis.

Sejak hari itu, Ghea menjadi satu-satunya kawanku di kampus. Ia selalu menjadi manusia yang ceria, dan selalu ada di saat suka maupun duka. Tak pernah terpikirkan olehku, bahwa aku akan berduka karenanya dalam waktu dekat.

Di dalam ambulans, Rangga memeluk peti dimana Ghea terbaring. Ia melihatku dengan tatapan yang membuatku sakit hati saat melihatnya. Pintu ambulans ditutup. Aku ikut di salah satu mobil kerabat Ghea.

>> You: Rendra, aku dalam perjalanan ke ibu kota. <<
>> Rendra: Oke. Tolong bagikan saja lokasimu, Aya. Hati-hati di jalan. <<

Seandainya tidak ada Rendra, yang rupanya mampu meredam segala rasa yang mampu membuatku terjatuh, mungkin aku sudah remuk.

***

Usai pemakaman sore ini, Rendra sudah berada di sana untuk menjemputku. Aku sudah memberikan penghormatan terakhir dan pakaian hitam milik Ghea yang kukenakan ini akan selalu kusimpan. Sejak malam hingga pagi tadi cukup riuh di kediaman Ghea yang besar itu. Aku tak sempat tertidur. Membantu keluarganya. Giri, adiknya yang seusia dengan Arya, ditinggalkan sendirian. Semalaman tadi aku menjadi ibu bagi Giri dan saudari bagi Rangga. Aku tidak pernah dekat dengan Giri, namun entah mengapa ia hanya mau berbicara denganku. Anak yang kuat. Aku, yang dulu ditinggal mama saja, tidak mau berbicara lebih dari satu bulan. Tapi dengan tegarnya, Giri bisa tersenyum pada tamu. Betapa kehilangan itu menyakitkan.

"Kamu tidak tidur, Aya?" Aku menggeleng. "Kamu mau ke rumah atau ke Hayuning?" Pertanyaannya membuatku memicing padanya. Ia tertawa.
"Kamarku kosong, Aya. Aku harus kembali ke Sarpaloka malam ini."
"Kamarmu memang kosong, tapi kalo ada yang lihat aku keluar dari sana, bagaimana? Ke rumah aja," balasku.
"As you wish, milady."
"Untuk pasangan yang belum jadi suami, kamu itu terlalu romantis, Rendra."
"Biasanya kata 'terlalu' itu berkonotasi negatif. Apa kamu tidak menyukainya?" Aku berpaling melihat ke jalanan.
"Nggak juga. Cuma nggak terbiasa aja." Aku bisa melihat Rendra tersenyum dari ujung mataku.
"Meski kamu terpaksa menikah denganku, tapi nanti kamu pasti akan mencintaiku," katanya dengan percaya diri.
"Bapak percaya diri sekali."
"Mau bagaimana lagi, 'kan? Mencintaiku atau tidak, kamu akan tetap menjadi milikku."
Aku tidak menyukai kalimatnya, tapi kenyataannya, karena mendengar hal itu dari mulut Rendra, rasanya sesuatu sedang menggelitik perutku. Aku pun memalingkan wajah dan melemparkan pandanganku ke luar jendela. Menyapu awan yang bergerak menghilangkan gelap yang akan membawa hujan entah kemana.
"Apa aku memang dikutuk?" tanyaku tiba-tiba, dengan pandangan yang tak beranjak dari langit. "Aku harus kehilangan orang-orang yang kucintai beberapa tahun ini." Hanya ada sunyi di dalam kabin. Rendra pun tak memberikan komentarnya selama beberapa saat.
"Bersiaplah. Bulan depan kita akan menikah," ucap Rendra tiba-tiba. Aku membuang nafas perlahan.
Mencintaiku atau tidak, kamu akan tetap menjadi milikku.
Ada kebenaran mutlak dalam kalimat itu. Kami sudah terikat janji dengan darah. Aku tidak memiliki jalan keluar.

Permaisuri Kerajaan UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang