Bagian 19: Terbuka

3.2K 282 15
                                    

"Kamu nggak kerja, Teh?" tanya papa.

"Aya izin, Pa. Kemarin-kemarin Aya sakit. Jadi minta surat dokter untuk satu minggu."

"Pasti sakitnya ngga seberapa, tapi minta cutinya panjang," ujar papa, sangat mengenalku.

"Namanya juga papanya Aya, sangat kenal anaknya." Aku tertawa kecil. "Papa ke toko hari ini?"

"Iya, lagi rame. Kiran juga ikut, karena nggak ada jadwal belajar katanya."

"Oke deh. Aya mau ke rumah aki ya, Pa."

"Sama Rendra?" Aku menggeleng. "Arya, antar teteh kamu ke rumah aki ya." Arya mengangguk.

"Nanti Aya pulang dari sana, minta dijemput Rendra."

"Oke. Papa dan Kiran berangkat dulu ya. Teteh jaga kesehatan," ucap papa.

"Iya, Pa. Hati-hati di jalan." Aku mencium tangannya dan mengantar hingga ke depan rumah.

"Aa kemana, Teh?"

"Ada urusan dulu, Ya. Kamu ngga apa-apa anterin teteh?"

"Ngga kok. Yuk," ajaknya.

Arya membantuku membereskan meja makan sebelum kami berangkat. Setelahnya kami berangkat dengan motor baru Arya yang lebih besar dan nyaman. Motor yang katanya dia beli dari hasil kerjanya. Adikku memang hebat.

"Pakai jaket, Teh."

"Iya. Kamu ketularan si ade deh. Cerewet." Arya tertawa mendengar ucapanku.

Motor Arya membelah jalanan yang masih lengang. Aku berangkat pagi agar bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan aki. Ada banyak sekali pertanyaan di kepalaku. Aku harap, aki bisa membantuku.

Jalan desa sudah habis, berganti menjadi jalan berbatu, meski tetap ramah. Rumah aki terpencil sendiri. Baru-baru ini aku tahu, rumah aki sudah turun temurun dari leluhurku. Salah satu penjaga di Arthayasa. Pantas saja aki dan papa sempat berseteru. Rupanya aki menginginkan papa untuk menjadi penerusnya. Namun papa menolaknya. Mungkin Arya yang akan menjadi penerus aki. Mungkin.

"Arya ke pos pendakian dulu ya, Teh. Cek anak-anak yang kemarin camping."

"Ada yang camping?" Arya mengangguk. "Oh ya sudah. Hati-hati ya, De. Kalo mau makan siang ke sini aja nanti." Arya mengangguk dan pamit tanpa terlebih dahulu menemui aki.

Lalu aku mengetuk pintu sambil membuka jaketku. Cukup lama aku menunggu aki, hingga aku duduk di bale-bale bambu yang berada di teras. Setelah sekitar sepuluh menit aki keluar.

"Neng Aya. Sama siapa?"

"Tadi sama Arya. Tapi dia mau ke Pasir Tiis dulu, Aki." Aku mencium tangan aki dan kemudian hidungku menangkap aroma yang sangat kukenal.

"Ada Rendra?" Aku masuk ke dalam rumah dan menyisir setiap ruangan. "Dimana Rendra, Aki?"

"Sudah pergi lagi. Tadi sebelum neng Aya ketuk pintu," jawab aki.

"Ada apa ini, Aki? Apa Rendra menghindari Aya?"

"Husss. Jangan begitu. Ayo duduk dulu. Aki tahu kamu banyak pertanyaan untuk aki kan?" Aku mengangguk.

Aku menuruti aki dan duduk. Sekali lagi aku bertanya pada aki yang sepertinya menyembunyikan kedatangan Rendra kemari. "Tadi kami membicarakan tentang ritual terakhir agar kalian bisa bersatu," ujar aki. "Kamu mencintainya, Nak."

"Nggak, Aki," jawabku tanpa berpikir.

"Aki tidak bertanya," ujarnya. "Aki melihat kecemburuan di matamu sejak kamu mengetahui tentang Aruna." Baiklah. Sebut saja aku cemburu.

Permaisuri Kerajaan UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang