Bagian 10: Raja Sarpaloka

4K 348 13
                                    

Tiga penyihir itu sedang berlibur di Bali. Tentu saja mereka tidak mengakuinya. Belum lama mereka pulang, lalu pergi lagi. Mereka mengatakan akan ke Bogor lagi selama satu minggu dan meminta izin padaku untuk membawa mobil. Tapi papaku yang memiliki banyak teman mulai dari preman hingga mafia itu banyak memiliki mata, terutama di Bandung. Pak Amril yang tampak polos pun memang sudah lama menjadi mata-mata papa. Ia selalu melaporkan segala gerak-gerik para penyihir itu di ruko. Mengenai kabar mereka ke Bali, diketahui oleh kawan papa yang bekerja di bandara dan mereka mengabari pak Amril. Benar-benar tidak punya perasaan. Menjadikan alasan ibunya sakit untuk pulang kampung, namun nyatanya sedang berfoya-foya.

"Mereka akan kembali satu minggu lagi," kata papa. "Baguslah. Papa bebas bergerak kalo mereka nggak ada."

Kirana sedang bekerja sampingan dan Arya mengerjakan tugas kuliahnya di kampus. Hanya aku yang berada di rumah bersama papa. Apa aku bahagia? Jelas. Aku sangat bahagia karena bisa melihat papa menonton televisi ditemani secangkir teh dan biskuit. Tapi aku juga tidak karuan sejak Arya pergi, karena aku takut ada sesi interogasi lanjutan dari papa.

"Mau Aya masakin apa, Pa?" tanyaku.

"Papa mau tahu soal Rendra," jawabnya.

Kan.

"Rendra sibuk, Pa. Dia orang yang cukup penting di Salaka Asri."

"Seumuran papa?"

Lebih tua, Pa. Aku akan menikahi lelaki yang seusia dengan buyutku.

"Nggak, Pa. 30 tahun juga belum." Papa memicing tidak percaya. "Sebentar."

Aku buru-buru mencari kartu nama Rendra yang pernah ia berikan padaku. Setelah menemukannya terselip di tas kerjaku, aku menyimpan nomornya. Segera, aku mengiriminya pesan, tanpa basa-basi.

>>You: Papa pengen lihat kamu. Aku minta foto kamu. -Aya<<

>>Rendra: Hai Nona. Gak pernah menghubungi, tiba-tiba minta foto. Aku takut.<<

>>You: Come on, Your Majesty. Please...<<

Gambar diterima. Aku selalu berhasil membuatnya kesal dengan sebutan itu. Tapi aku tidak boleh merasa senang dulu, karena dia pandai membalasku.

Aku kembali ke ruang tengah untuk menunjukkan kepada papa foto Rendra. Sesuai dugaanku, papa tercengang melihat Rendra. Dia itu memiliki pesona yang aneh, menurutku.

"Ganteng juga, Ya. Kok dia mau sama kamu?"

"Papa!" Lelakiku itu tertawa keras.

"Papa kira dia sudah tua, karena kamu bilang dia pebisnis."

"Ya lebih tua dari Aya sih." Aku mengambil satu biskuit dan mengunyahnya.

>>Rendra: Aku sudah di depan rumah, Nona.<<

Aku dan papa melihat pesan yang muncul di layar ponselku itu. Lalu kami saling tatap. Lebih tepatnya papa menatapku yang hanya mengenakan celana pendek dengan T-Shirt kebesaran yang belel.

"Kamu nggak akan ganti baju?" tanya papa.

>>You: Betul-betul ya. Tunggu.<<

Aku berlari ke kamarku dan mengganti pakaian, hanya mengganti T-Shirt dan mengenakan jeans, yang setidaknya tampak lebih rapi. Usai mengganti pakaian, aku menuju ruang depan dan ternyata papa dan Rendra sudah duduk berhadapan di sana. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku memilih duduk disamping papa. Begitu duduk, aku melihat Rendra yang mengenakan T-Shirt yang sama denganku. Masih berbau serial Supernatural. Kami mengenakan T-Shirt hitam dengan simbol anti-possession.

Permaisuri Kerajaan UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang