Bagian 7: Supernatural

3.5K 302 3
                                    

Aku sudah mulai beradaptasi dengan segala pekerjaan di layar komputerku, saat kulihat waktu menunjukkan pukul empat lebih tiga belas menit. Tiba-tiba tanganku merasa panas. Bagian tanganku, tepat di titik bekas gigitan ular yang sesungguhnya tak berbekas itu rasanya seperti terbakar. Aku melihat ke bungalow yang tampak sepi itu. Entah mengapa rasa penasaran itu selalu hadir, membuatku melirik ke arah bungalow itu. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dan kembali bekerja.

Jam lima tepat aku keluar dari ruangan, dan dari kejauhan kulihat Jay sudah duduk di sebuah meja di café Ayodya, dengan segelas smoothies. Aku tidak terkejut, karena ia sudah mengatakan akan menjemputku. Aku yang baru ke luar dari ruangan, melemparkan senyum padanya lalu duduk di mejanya.

"Smoothies-nya enak."

"Iya dong." Aku mengambil gelas bang Jay dan menyeruputnya sedikit, "Sering-sering kesini aja, Bang."

"Bangkrut aku nanti." Kami tertawa.

Setelah sekitar lima belas menit kami duduk, aku mengajaknya pulang. Kami berkendara dengan motornya yang sudah cukup tua, tapi Jay sangat menyayanginya. Beberapa menit kemudian kami pun tiba di depan rumah.

"Nggak akan pamitan ke papa sekarang?" tanyaku. Jay menjawabnya dengan gelengan kepala.

"Banyak yang harus aku urus, Ya."

"Ya udah."

"Bang!" teriak adikku.

"Hei! Baru pulang, De?" Aku lihat Kirana baru saja tiba. Ia mengangguk pada bang Jay.

"Nggak masuk dulu, Bang?" tanya Kirana.

"Nggak, De. Abang harus mampir ke museum sebentar," jawabnya, "Aku pergi ya." Lambaian tanganku dan Kirana mengantarnya pergi.

"Bukannya tempat kerjanya deket museum ya? Kenapa malah kesini dulu? Jauh-jauh." Ujar Kirana.

"Emang mau anter teteh aja, De."

"Udah kayak pacaran, tapi nggak jadi-jadi ya kalian itu," ejeknya. Aku tertawa saja. Lalu aku menutup pagar dan tak sengaja menyenggol lengan kiri Kirana hingga ia meringis. Aku yakin sekali, aku tidak menyenggolnya dengan keras.

"Kenapa, De?"

"Nggak apa-apa," jawabnya sambil buru-buru masuk. Aku berniat menyusulnya, namun mobil putih yang digunakan ibu datang, aku membuka kembali pagar, agar mobil bisa langsung terparkir. Begitu mobil sudah masuk, aku segera menutup pagar dan berlari ke kamar Kirana, tanpa memedulikan ibu dan saudara tiriku itu.

"Buka bajunya!" perintahku dengan tegas.

"Nggak."

"Buka, De! Nurut sama Teteh." Ia merasa terintimidasi hingga matanya berair. Pelan-pelan ia menurut dan membuka atasan seragamnya.

Ada merah kebiruan di lengan kirinya. Aku menyingkap rambut yang menutupi wajah bagian kirinya. Kemerahan di pipi dekat telinganya terlihat dengan jelas. Siapa yang berani seperti ini pada Kirana?

"Kenapa ini?" tanyaku. Tapi Kirana hanya diam saja, "Kirana Rismaya! Teteh lagi ngomong sama kamu."

"Apa sih berisik-berisik? Ibu baru pulang malah bertengkar," ujar seseorang dari balik pintu. Aku melihat Kirana yang tampak takut melihat ibu.

"Apa ibu yang mukul kamu?" tanyaku pada Kirana.

"Iya ibu pukul Kirana tadi pagi. Tapi nggak keras. Kirana udah bikin rusak baju ibu. Masa sampai kayak gitu," jawab perempuan itu dengan santai.

"Apa harus dipukul, Bu?" tanyaku. Masih tenang.

"Kalau salah ya harus dihukum, 'kan?"

"Apa ibu gitu juga sama Agnes dan Stefi?" Aku balik bertanya.

Permaisuri Kerajaan UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang