Bagian 14: Argasena

3.2K 277 7
                                    

Kemarin Rendra tidak menjawabku tentang siapa itu Argasena. Ia selalu mengalihkan pembicaraan. Aku bertanya pada aki, tapi aki pun sepertinya tak mengetahui hal itu. Atau mungkin tidak mau memberitahuku. Akhirnya kemarin kami membahas tanggal pernikahan yang akan dilakukan pada saat bulan baru atau bulan mati, saat posisi bulan hampir sejajar dengan bumi dan matahari. Bagiku ini hal baru, biasanya hal-hal sakral dilakukan saat purnama. Setidaknya, kebanyakan mitos seperti itu. Jadi, dalam dua belas hari aku akan menikahi Rendra. Hari yang tepat dengan hitungan yang dibuat oleh paman Jagatri. Kemarin Rendra mengatakan akan datang kepada papa malam ini bersama paman Jagatri, yang akan ia akui sebagai pamannya.

Hari ini hari terakhirku bekerja di minggu ini, seharian tadi aku mempelajari materi presentasi untuk hari senin. Training staf di Salaka Asri. Teh Erni pun tidak memberiku banyak pekerjaan, katanya agar aku bisa fokus pada persiapan training nanti. Memang rupanya cukup banyak bahan yang harus kupelajari. Sepertinya akhir pekanku akan kuhabiskan dengan membaca dan membuat presentasi.

Ponselku bergetar.

>> Rendra: Kamu sudah selesai? <<

Aku melirik ke arah bungalow, tapi kosong. Yang sedang diisi tamu justru bungalow sebelahnya.

>> You: Sedikit lagi. Kamu di Salaka Asri? <<

>> Rendra: Iya. Aku turun sekarang ya. <<

>> You: Oke. <<

Aku menyimpan kembali ponselku dan melanjutkan pekerjaanku. Lima belas menit lagi sebelum jam kerja selesai.

Begitu lima belas menit terlalui, satu-persatu manusia di ruangan ini pamit padaku untuk pulang dan aku masih di mejaku. Yang terakhir diantara mereka adalah bu Fanny. Ia menghampiriku.

"Belum selesai, Day?"

"Belum, Bu. Sedikit lagi."

"Oke. Jangan sampai larut ya. Lampunya biarkan menyala atau aku matikan sebagian?" tanyanya.

"Dimatikan sebagian saja, Bu. Makasih," jawabku.

"Aku duluan ya, Neng. Have a nice weekend!"

"Iya, Bu. Makasih banyak." Bu Fanny pun menghilang keluar dari ruangan.

Ternyata ruangan ini cukup gelap juga. Padahal masih jam lima sore lebih sedikit. Tiba-tiba hujan turun deras. Pantas saja sejak tadi langit cukup gelap. Tak lama kemudian pintu terbuka, seseorang masuk dan ia kembali menutup pintu. Aku masih melanjutkan membaca.

"Belum selesai?" tanyanya.

"Sudah. Sudah. Sedang kupindahkan datanya," jawabku. Ia menyeret kursi dan duduk di dekat mejaku.

"You look stressed, milady."

"Memang," kataku.

"Siapa yang memberimu pekerjaan ini?"

"Bu Linda." Ia melirik padaku saat mendengar nama itu.

"Pantas saja. Dia pikir kamu akan berkarir di sini."

"Dia manusia ya?" tanyaku. Rendra mengangguk. "Dia tidak menerima penolakan."

"Iya. Keras kepala memang. Kamu tetap mau melakukannya? Atau mau aku bantu?"

"Nggak perlu. Biar saja. Setidaknya ini tantangan baru untukku." Rendra pun terdiam.

Usai mematikan komputer, aku melakukan sedikit touch up pada wajahku dan merapikan rambutku. Hal yang dilakukan perempuan pada umumnya, bukan? Rendra sudah berdiri menungguku. Ia bersiap membawakan tasku. Tapi aku melarangnya.

Permaisuri Kerajaan UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang