Bagian 18: Kepingan Masa Lalu

3.1K 258 8
                                    

Akhirnya Rendra menyewa penthouse milik kenalannya di ibu kota. Di sinilah aku tinggal untuk sementara. Sudah beberapa hari sejak kejadian terbukanya mata batinku dan aku baik-baik saja. Seperti yang aki sampaikan, ia tidak menutup semua penglihatanku. Memang benar, aku masih bisa melihat beberapa mahluk tak kasat mata yang memang memiliki energi yang lebih besar dari yang lainnya. Tapi tidak sesesak waktu itu dan mereka masih tidak bisa melihatku.

Aku hanya bertemu Rendra di sini. Ia meminta maaf padaku karena tidak bisa mengantar atau menjemputku beberapa hari ini. Kami hanya bertemu saat malam hingga pagi. Di sini, ia selalu menemaniku tidur hingga pagi tiba. Meski seperti biasa, kami tidur masing-masing dalam satu ranjang. Kadang tengah malam aku terbangun dan berpikir, apakah aku ini tidak menarik bagi Rendra. Apakah aku kurang menggoda baginya? Tapi segera kutepis begitu ingat pada prosesi yang belum kami jalani. Entah prosesi apa. Hanya saja pikiranku berkecamuk. Di satu sisi aku merasa kagum pada Rendra yang bisa menahan dirinya untuk tidak menyentuhku, di saat ia bisa. Di sisi lain, aku merasa tidak percaya diri, karena mungkin sebagai perempuan, aku tidak cukup menggoda.

Terkadang aku ingin bertanya padanya, tentang apa yang telah ia lakukan dan bagaimana kesehariannya. Namun, entah mengapa aku merasa ada jarak antara aku dengan Rendra. Mungkin aku yang menciptakan jarak itu, karena meski kami berasal dari dunia yang berbeda, ia tetaplah raja di dunianya. Perlahan aku merasa sangat terikat padanya. Apakah aku mulai jatuh cinta padanya?

Senyap sekali di dalam ruangan ini. Aku duduk memandangi kota dari balik jendela dengan segelas anggur putih. Baru saja ia mengirim pesan padaku, bahwa ia tak akan pulang malam ini. Rasanya seperti aku sudah menikah dalam waktu lama dengannya. Muncul ketidaknyamanan saat ia tidak berada di sisiku. Padahal belum satu bulan kami menikah. Aku melihat wajahku sendiri di pantulan kaca jendela. Aku cukup cantik dan sebetulnya menarik. Tapi saat melihat Laras, lalu berkeliling di Sarpaloka, aku tidak bisa menemukan perempuan berwajah biasa saja. Mereka semua cantik. Mungkin karena itu aku merasa kurang percaya diri.

"Permisi." Suara itu terdengar jauh, namun aku melirik ke sebelah pantulan wajahku. Ada wajah cantik laksana seorang dewi di sana. Aku berbalik dan terkejut. Hampir menjatuhkan gelas anggurku, namun dia menangkapnya. "Hati-hati," katanya.

"Si- siapa kamu? Bagaimana caramu masuk kemari?"

"Itu pertanyaan yang sama yang ingin kuutarakan padamu beberapa hari lalu. Kamu siapa?" tegasnya. Kemudian aku mencoba mengingat kejadian beberapa hari lalu di rumah aki. Ah benar, perempuan itu.

"Kukira itu hanya khayalanku. Maafkan aku, aku juga tidak tahu kenapa aku bisa bertemu denganmu saat itu," jawabku.

Ia mendekat. "Kamu manusia, 'kan?" Aku mengangguk.

"Namaku Dayana." Aku mengulurkan tangan. Ia akan menyambut uluran tanganku, sebelum akhirnya ia berhenti. Aku melihat hidungnya yang sedang mengendus sesuatu. "Kamu. Apa hubunganmu dengan Direndra?" Aku terhenyak mendengarnya. Seketika ia menjadi marah.

"Aku–" Dalam sekejap ia mencekik dan mengangkat tubuhku.

Prang! Gelas anggur yang kupegang jatuh dan pecah.

"A–apa y–yang k–kamu lakukan." Aku berusaha melepas tangannya. Tapi tak bisa, karena tenaganya begitu besar. Rasanya sesak dan sakit. Aku tak bisa bernafas.

Tiba-tiba aku berada di kebun bunga yang cantik. Aromanya, aroma Sarpaloka. Iya, negeri asal Direndra Janardhana. Aku berada di jalan kecil dari batu. Di kejauhan sana tampak seperti pasar. Aku pun berlari menuju ke sana. Aku harus mencari Rendra dan mengatakan padanya bahwa seorang perempuan gila baru saja berusaha membunuhku dengan mencekikku. Tak lama kemudian aku sampai diantara manusia-manusia Sarpaloka. Sepanjang jalan, aku berusaha membalas senyum pada mereka yang tersenyum padaku. Aku masih ingat jalanan ini. Aku harus berbelok ke kiri di persimpangan besar sana. Sebuah persimpangan indah dengan sebuah air mancur cantik di tengahnya. Lalu dari baliknya, muncul Rendra yang berjalan sambil tersenyum. Rendra yang gagah dengan mahkotanya. Aku tersenyum saat melihatnya, dan hendak berlari kepadanya, namun, tangannya bertaut dengan tangan lainnya. Ia sedang menggenggam tangan. Dari balik air terjun itu muncul perempuan tadi yang tampak sumringah. Seolah mereka baru saja membicarakan hal-hal yang manis. Itu adalah perempuan yang mencekikku. Perempuan itu menyusul langkah Rendra, kemudian berdiri di hadapan Rendra dan menghentikan langkah sang raja ular. Tangan besar Rendra menyingkap rambut perempuan itu yang tertiup angin dan menyelipkannya di telinga perempuan itu. Kemudian aku melihat kedua insan yang berbahagia itu saling menautkan bibir mereka. Apa ini?? Apakah ini sedang terjadi atau hanya memori?

Permaisuri Kerajaan UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang