Bagian 23: Candrakara

2.6K 245 2
                                    

"Bang Jay, 'kan?"
"Apa yang kamu lakukan, April?" Pemilik suara itu menghampiriku. Aku sangat yakin itu suara bang Jay. Ia mengusap bagian yang tadi ditampar oleh wanita itu. Tapi ia tidak membuka ikatan tanganku.
"Sudah kubilang, kamu tidak perlu kemari. Dasar tidak bisa profesional! Aku tahu kamu pasti melibatkan perasaan. Cih!" ucap wanita itu. Aku mendengar ia melangkah pergi. April? Mantan pacarnya?
"Kamu nggak apa-apa, Ya?" Ada nada khawatir dalam suaranya. Tapi apa maksudnya semua ini? Dia masih bertanya tentang keadaanku sementara dia tidak melepas ikatanku.
"Apa-apaan ini, Bang?" tanyaku tegas. "Apa hubungan kamu dengan mereka?"
"Aku belum bisa menceritakannya, Ya."
"You're not gonna letting me go, aren't you?" tanyaku lagi. Dia diam. "Bang!"
"Aya, kamu bertahan dulu sebentar ya. Tolong."
"Maksudnya, kamu akan membiarkan aku seperti ini? Kalian ini apa sebenarnya? Hewan?"
"Kamu yang menikah dengan hewan, Aya! Aku hanya mau menyadarkanmu! Hidupmu di sini! Bukan di sana!" Bentak Jay.
"Tahu apa kamu tentang Sarpaloka??" Aku memalingkan wajahku dan bertanya-tanya apakah ini benar-benar Jay atau hanya meniru suaranya saja. "Kamu bukan Jayadi Buana, yang kukenal. Pergilah," usirku.
"Aya..."
"Pergi. Jika tak akan membuka ikatan ini, pergi. Jangan lagi menunjukkan diri lagi di depanku."
"Aya."
"Pergii!!" Kekesalanku terbuang bersama teriakanku pada Jayadi, yang sepertinya dia pun terkejut, karena aku berteriak padanya. Akhirnya aku pun mendengar langkah kaki yang menjauh. Aku menangis dalam hening.
Sepertinya hari telah berganti sejak aku berteriak pada Jay, dan aku masih dalam keadaan terikat. Hanya saja, aku sudah berada di sebuah tempat tidur yang cukup empuk. Mataku masih ditutup. Aku tidak pernah bertemu lagi dengan Rendra, sejak di mimpi saat itu. Ragaku mungkin terlihat tenang. Tapi pikiranku berkecamuk, antara rasa sakit karena rinduku pada Rendra, juga segala pertanyaan tentang apa yang sedang dilakukannya sekarang. Apakah dia mencariku? Sungguh jarak ini rasanya terbentang sangat jauh, antara aku dan Rendra.
Lagi-lagi aku mendengar suara Jayadi, meski samar. Dia masih ada di sini. Mengingatnya saja, seolah ada sesuatu yang panas yang mendesak dari ulu hati ke kerongkonganku. Aku tidak pernah mengenal bajingan ini dengan baik. Tujuh tahun yang kuhabiskan bersamanya terlalu samar. Saat itu aku terlalu buta untuk melihat keburukannya. Tiba-tiba saja aku merasa menyesal, pernah mencintainya begitu dalam. Kemudian ingatanku terbang pada Argasena. Benar, Jayadi itu reinkarnasi dari Argasena yang tak pernah bisa melepasku pada Direndra. Dahulu pun, ia melakukan banyak hal untuk memisahkanku dari Direndra, hingga akhirnya aku terbunuh. Apakah ini yang Rendra maksud dengan sejarah yang akan berulang? Tak lama kemudian, suara Jayadi itu menghilang dan aku mendengar suara mesin mobil yang meninggalkan area ini.
Sepi, namun panas di dadaku semakin menyengat. Perlahan aku mencoba menenangkan diri dan melalui pikiranku, menyebarkan panas tersebut ke seluruh tubuhku. Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi, tapi panas itu menyebar. Berbekal imajinasi ala serial animasi tentang pengendali angin itu, aku kemudian memusatkan panas itu ke kedua tanganku. Lalu tercium bau kain terbakar. Ikatan kain di tanganku terlepas! Tapi aku tak merasakan panas yang membakar. Tanpa menunggu lagi, aku membuka penutup mataku. Kedua pergelanganku terluka karena gesekan kulit dengan kain yang keras. Aku melihat kain yang gosong, di sekitar tempat tanganku diikat. Apa aku membakar kain itu? Nanti saja! Aku sekarang harus melarikan diri terlebih dahulu.
Kulihat sekelilingku, sebuah ruangan dengan dinding dan segalanya yang terbuat dari kayu. Kecuali tempat tidurku. Ruangan ini tidak luas, tapi memiliki pencahayaan yang cukup, karena memiliki jendela yang tak ditutup. Aku bisa melihat dengan jelas keluar sana. Hanya ada pepohonan. Entah milik siapa kabin ini. Aku segera membuka ikatan tali di kakiku. Mereka mengikatku seolah aku ini perempuan yang sedang kerasukan iblis. Lalu aku berjalan ke pintu untuk mendengarkan situasi di luar. Sudah sepi. Tapi aku tak berani membuka pintu itu. Akhirnya aku menahan gagang pintu itu dengan kursi kayu yang cukup berat. Bergegas aku ke jendela dan saat aku melewati meja, aku melihat sebuah simbol. Ular hitam yang melingkar di tongkat kayu emas, yang biasa orang-orang sebut dengan Asklepian. Ya, tongkat yang selalu dibawa oleh Dewa Yunani, Asclepius, yang merupakan dewa kesehatan dan penyembuhan. Dibawah simbol itu ada sebuah nama: Infinité. Sebuah nama yang sesungguhnya tidak terlalu asing di telingaku. Harus kuingat. Aku memastikan di luar sana tak ada siapapun. Ini terlalu mudah. Aku harus berhati-hati. Perlahan aku membuka jendela dan keluar dari kabin itu.
"Direndra tidak akan bisa kemari. Hanya manusia yang bisa melewati pagar yang kubuat," ujar suara berat yang waktu itu pertama kali menyapaku. "Bahkan sopirnya yang memutuskan untuk menjadi manusia itu takkan bisa melaluinya," sambungnya. Ia sedang berbicara dengan seseorang. Aku keluar tepat di samping kabin kayu itu dan kedua orang yang berbicara itu tampak ya berada di beranda depan. Aku melihat situasi, pandanganku mengitari barisan pepohonan, mencari celah jalan. Aku menemukannya. Secepat mungkin aku berlari menuju pepohonan itu. Menuju hutan. Aku tak berhenti, tak menoleh ke belakang. Aku tak memedulikan permukaan yang kuinjak tanpa alas kaki ini. Sampai dari kejauhan aku mendengar teriakan samar-samar. Bukan tentangku yang melarikan diri, tapi tentang ruangan yang terkunci. Dasar tolol. Aku terus berlari masuk ke dalam hutan yang anehnya jalannya menurun. Sepertinya rumah tadi ada di atas sebuah bukit. Setelah kurasa cukup jauh, adrenalinku mulai menurun dan aku merasa sangat lelah dan mencari batuan yang besar untuk berlindung, sebentar saja beristirahat. Batuan besar? Seharusnya tak jauh dari sini ada sungai.
"Kita harus berjalan menuju sungai, Nak. Kamu bantu ambu, ya. Kamu harus kuat." Aku mengelus perutku yang masih datar.
Begitu tiba di tepian sungai, di seberang sana aku melihat perkampungan. Hanya saja seperti ada pembatas tak kasat mata antara kampung itu dengan area dimana aku berdiri. Seperti gelembung raksasa dan aku bisa melihat perbedaannya dengan jelas di sini. Aku mencari bagian sungai yang dangkal agar bisa menyeberanginya tanpa kesulitan. Aku berhasil keluar dari gelembung transparan itu. Saat hampir dekat daratan di seberang, aku berteriak minta tolong. Beberapa orang dengan sigap menghampiriku. Namun saat mendekat, aku mencium bau seperti kucing yang sangat kuat. Aku bisa melihat mereka pun mengendusku dari kejauhan. Akhirnya aku dan tiga orang di depanku itu saling tatap. Jujur saja, aku kebingungan, kukira mereka akan menolongku.
"Penyusuup!" teriak salah seorang diantara mereka. Sontak aku melihat ke kiri, kanan dan belakangku. Memastikan apakah ada orang lain selain aku. Nihil.
"Maksudnya saya? Saya bukan penyusup?" Apa mereka tidak bisa melihat penampilanku yang berantakan? Aku mendekat pada mereka dan mereka mundur. Aku semakin maju untuk menjelaskan bahwa aku membutuhkan pertolongan mereka. "Saya korban penculik–" Bugh. Sesuatu menghantam punggungku dengan keras hingga semua visual di hadapanku hilang.

Permaisuri Kerajaan UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang