Bagian 3: Rumah Aki

4.3K 324 5
                                    

Aku adalah kesempurnaan

Tertelan kabut tengah malam

Dalam dingin dan riuh angin

Mencari sendiri jejakmu yang jauh berlari

Mengabaikan intuisi yang berbisik

"Tempatnya bukan di sini."

Tapi aku tak peduli

Dan kabut masih pekat, saat kedua mataku bertaut pada rambut terikat Jay. Memperhatikan gerak bibirnya yang sedang memberi petuah pada calon anggota dan panitia yang baru saja selesai melakukan jurit malam. Di mataku Jay selalu tampan dan berkarisma, meski tubuhnya tidak terlalu tinggi, hanya sepuluh sentimeter lebih tinggi dariku. Kulitnya gelap karena sering terkena sinar matahari. Badannya berotot, namun bukan karena gym, tapi memang pekerjaannya banyak di lapangan. Ia sungguh orang yang baik dan perhatian. Tapi ia bukan milikku.

Aku tahu ia tak pernah menganggapku sebagai seorang perempuan. Sudah lama aku ingin mengatakan padanya tentang semua yang kurasakan, namun dalam hati ini ada sedikit ketakutan bahwa ia akan berubah. Atau mungkin hubungan kami yang akan memburuk. Jujur saja, aku tak ingin kehilangan Jay. Meski aku harus mengesampingkan perasaanku. Tak apa. Aku sudah terbiasa dengannya dan belum pernah ada hal atau manusia lain yang mengalihkanku darinya.

"Kamu yakin, habis ini mau ke Tunggul?"

"Ke rumah aki, Bang. Arthayasa. Bukan mau naik gunung."

"Aku ikut ya?" pintanya. Aku menggeleng. Dia pasti heran, karena kali ini aku menolak permintaannya.

"Lain kali ya, Bang. Hari ini ada hal penting yang mau aku tanya sama aki," paparku.

"Aku nggak boleh tahu?" Aku menggeleng lagi. Kali ini sambil tertawa kecil, "Ya udah. Aku antar aja sampai gapura desa ya?" katanya lagi.

Lihatlah! Jika ia terus-menerus seperti ini, bagaimana aku bisa menghilangkan perasaan yang istimewa ini padanya?

Ia seperti ini sejak ia putus dengan pacarnya satu tahun lalu. Bukan salahku kan jika aku menganggap dia memiliki perasaan khusus padaku? Ah. Sudahlah.

"Boleh, Bang. Tapi jangan ngikutin."

"Iya.. Iyaa..."

Setelah selesai dengan penutupan dan memastikan junior-juniorku terangkut oleh truk tentara itu, aku dan Jay menjadi yang paling akhir meninggalkan tempat parkir dekat pos jaga itu. Kami pergi setelah pamit pada abah Idjang. Tidak nyaman sekali saat bang Jay menyuruhku duduk merapat padanya, dengan pertimbangan agar ranselku yang besar itu tersangga di jok. Tapi tanpa protes aku menurut. Bahkan kali ini untuk pertama kalinya aku memeluk Jay dari belakang. Membuat laki-laki ceriwis ini terdiam seribu bahasa.

"Maaf, Bang. Aku pegangannya gini."

"Oh ng–nggak apa-apa, Ya. Santai. Maaf ya, motornya kekecilan. Semoga bisa cepet ganti dengan yang lebih besar ya," katanya, sebelum ia akhirnya kembali terdiam. Aku tidak mengerti maksudnya.

Apa ia berniat mengganti motor demi aku? Ah, sudah... Sudah, Aya!

Kutepis keras semua pikiran yang akan membuatku melambung.

Aku selalu menikmati angin yang menerpa pipiku seperti ini. Sembari melihat hijau di kanan kiri. Lima belas menit kemudian kami tiba di gapura dusun Tunggul. Jaraknya dari pos Pasir Tiis memang tidak terlalu jauh. Aku turun dari motor dan menunggu hingga Jay pergi.

"Aku pergi, kalo bang Jay udah pergi."

"Aku nggak akan ngikutin, Aya. Janji. Sana!" ujarnya.

"Oke." Jay adalah orang yang selalu memegang janjinya. Aku pun pergi menuju rumah kakek yang jaraknya sekitar satu kilometer dari gapura dusun. Tepatnya di akhir jalan dusun yang berbatasan langsung dengan hutan.

Permaisuri Kerajaan UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang