Case 03

63 19 5
                                    

Sekali lagi, sejak kasus kematian Giselle, Dadang harus datang ke sekolahnya dulu. Pemuda itu disambut salah satu guru yang banyak memberinya arahan agar bisa seperti saat ini.

"Bapak bangga ada didik bapak ada yang jadi orang hukum," ujarnya dengan muka berseri. Dadang hanya cengar-cengir saja sebelum matanya memandang lekat tiang.

"Apa ada yang menggunakan lapangan ini sejak korban ditemukan?" Sang guru yang berada di usia mendekati masa pensiun itu menggeleng, membuat Dadang segera berlalu mendekati setelah menggunakan sarung tangan.

Nahasnya, karena pemuda itu sebenarnya sedang libur tugas, dia tak membawa peralatan apa pun yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi sidik jari pada tiang bendera.

"Boleh minta bedak yang ada di tangan bapak? Sama selotip transparan juga kuas, kalau bisa pak." Permintaan Dadang sempat membuat guru itu kebingungan, tetapi alih-alih bertanya dia memilih menyediakan sebuah bedak yang barusan dia sita dari seorang murid perempuan.

Dengan cekatan pemuda itu menerapkan hal yang diajarkan padanya, tetapi tak ada petunjuk apa pun yang dia dapatkan setelahnya.

"Apa apa, Nak?" Pertanyaan guru tersebut disambut gelengan Dadang. Pemuda itu hendak kembali ke tempat sang guru ketika matanya tak sengaja memandang tanah dengan beberapa ukiran.

"Pak, apa saya boleh pinjam tangga?" Matanya berseri ketika berkata demikian, sedang sang guru harus kembali menumpuk pertanyaan akan tindakan Dadang.

****

Sejak kejadian Clara dilarikan ke rumah sakit terdekat, Rara sudah menangis sesengggukan. Kendati rata-rata anak perempuan di kelas menenangkannya, gadis itu menolak dan malah makin menjadi. Jujur, tindakannya membuat Frida risih, tetapi gadis itu menelan segala kata-kata pedas yang hampir terlontar ketika melihat wajah penuh pilu Rara.

Pada akhirnya gadis itu hanya bisa menepi, berusaha sejauh mungkin dari jangkauan suara desut ketika dia membuang ingusnya di sebuah tisu. Pikirannya berkela kemudian, kembali ke kejadian penemuan tubuh Clara yang tergantung, dan bagaimana tubuh gadis malang itu penuh lebam.

****

Frida memandang tubuh Clara yang masuk ke ambulan. Setelah mobil putih dengan strip merah itu berlalu kakinya tanpa disuruh berjalan ke arah lapangan. Sebisa mungkin gadis itu tak merusak apa pun-termasuk tak menendang krikil di lapangan agar TKP tak berubah-ketika sampai di dekat tiang, matanya terfokus pada sebuah tulisan yang terlihat ditorehkan secara terburu-buru.

Isinya hanya sebuah pertanyaan yang jika gadis itu sebutkan terasa sangat konyol. "Apa kalian masih ingat aku?" Begitulah isinya.

Memang, apa masalahnya sampai dia menyiksa seorang siswi dan menorehkan pertanyaan remeh-temeh semacam ini.

Sebuah ancaman? Atau sebuah pengingat? Pertanyaan itu tak sengaja terlintas di otaknya. Dan tanpa sadar membuat Frida teringat pada satu kasus yang masih baru di sekolah itu.

"Kasus Giselle?" gumamnya kemudian. Namun gadis itu segera menggeleng kuat. "mana mungkin orang mati bisa berbuat macam begini." Akhirnya ketika dia mendengar seseorang meneriakkan namanya, gadis itu terpaksa meninggalkan tempat kejadian.

Sayangnya, satu yang tak dia lihat, sebuah inisial paling kecil di samping pertanyaan tersebut.

****

"Hei! Melamun aja kamu." Seseorang mengejutkannya tanpa permisi. Sembari mengelus dada, ditatapnya tajam sang pelaku, membuatnya mengangkat sepasang tangan ke udara.

"Ada apa?" Frida bertanya singkat setelah dapat menenangkan dirinya. Yang ditanya hanya cengir kuda.

"Tak dengar bel tanda istirahat sudah berbunyi, Nona? Mau ke kantin nggak?" Pertanyaan sang gadis membuat Frida diam sebentar sebelum mengangguk kemudian berdiri.

Akan tetapi, ketika matanya melirik ke arah Rara, langkahnya terhenti. Didekatinya gadis itu, yang sampai saat ini masih menyeka air mata.

"Hei, Ra. Kamu mau begini saja? Menangis sampai kehabisan tenaga dan jatuh sakit? Terus gimana nasibnya Clara?" Rara yang mendengar ucapannya mendongak dengan mata berkaca. Sedang gadis yang bersama Frida menyikut pinggangnya cukup kuat.

"Apa, sih Nadya! Sakit tahu!" protesnya yang tak digubris oleh gadis tersebut. Nadya tak habis pikir, bisa-bisanya ada gadis yang tak memikirkan perasaan orang ketika mengatakan sesuatu.

Ketika dua gadis itu masih beradu tatapan maut, Rara dengan suara seraknya membuka suasana tegang. "Ah, boleh?"

"Tentu boleh. Rara kan juga teman kami, ya nggak, Fri?" Sekali lagi, sikutan cukup kuat mengenai tulangnya. Gadis itu segera mengangguk, membust Nadya tersebut puas karena menang.

Kemudian ketiganya bertolak ke kantin. Suasana istirahat yang penuh dengan bising antar siswa dan penjual segera menyerang ketiganya. Dengan sigap mereka membagi tugas, Rara dan Nadya yang mencari bangku, sedang Frida yang tubuhnya termasuk kuat—karena dulu sempat ikut ekskul olahraga—harus menahan umpatan di mulut sebab harus membawa dua pesanan teman sekelasnya tersebut.

"Tak adil, masa aku sendirian yang bawa pesanan kalian?" Dahi gadis itu berkerut sedang Nadya tertawa mendengar protesnya yang tiada arti.

"Siapa suruh buat kalah di hompimpa?" Dan setelah itu Frida berlalu, meninggalkan Nadya yang menahan tawanya dan Rara yang agak bingung dengan interaksi berbeda antara Frida dan Nadya.

Setelah cukup lama, Frida dapat membawa segala pesanan dengan selamat, membuat Nadya dengan polosnya bertepuk bangga.

"Wah, emang, ya. Mantan atlet lain dari manusia biasa seperti kami."

"Diam, Nad. Makan pesananmu sebelum dingin," ujar Frida kemudian menyantap seporsi mie ayam. Yang ditegur hanya terkekeh sejenak, kemudian ikut menyantap makanan yang ada di depan muka.

Berbanding terbalik dengan kedua teman yang tampak sedang berlomba siapa yang cepat menghabiskan mie ayamnya, Rara tampak tak menyentuh sedikit pun nasi goreng yang dia pesan.

"Kenapa? Tak enak?" Nadya bertanya disela seruputan mienya.

Rara menggeleng, gadis itu mulai memakan santapannya walau dengan kecepatan lambat.

Tepat ketika bel tanda berakhirnya jam istirahat menggema di penjuru sekolah, ketiganya telah menuntaskan misi mengisi tenaga untuk belajar.

"Dengar, Ra. Kamu memang bisa terus meratapi nasib temanmu, tetapi apa dengan begitu dia bisa kembali ke kondisi semula dengan cepat? Tidak kan. Makanya, daripada kamu menghabiskan tenagamu untuk meratapi nasib yang tak bisa diubah, alangkah baiknya kamu menyimpan tenaga tersebut untuk membantunya kembali pulih." Frida berkata tiba-tiba ketika hampir sampai di pintu masuk kelas, kemudian segera berlalu dengan wajah merah.

Nadya, yang melihat tingkah temannya yang dia kenal ketika dirinya kelas 1 SMP sedang tertawa kecil. "Begitulah dia, tanpa diminta ada saja ucapan penyemangat. Yah, walau suka nggak difilter, sih. Harap maklumi tingkah gadis itu, ya." Setelah menepuk bahu Rara pelan Nadya ikut berlalu ke arah kelas.

Rara yang ditinggal kedua orang tersebut terdiam di posisinya. Ucapan Frida terasa bergema dalam kepala, membuat gadis itu kehilangan kemampuan untuk berjalan. Ketika sebuah deheman pelan terdengar dari belakang dia menoleh, mendapati seorang guru ada di sana dengan senyum ramah.

"Kenapa belum masuk, Nak?" tanyanya

"Ah, tadi pandangan saya sedikit berkunang, Bu. Sekarang sudah mendingan, saya permisi ke kelas dulu, ya, Bu." Setelah memberi hormat Rara berlaku cepat. Mukanya bersemu merah, bukan hanya perkataan Frida, tetapi juga rasa malu karena ditegur oleh guru.

Giselle [✓] #WRITONwithCWBPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang