Case 20

23 7 8
                                    

Gadis itu selalu berusaha. Kendati demikian, dia tetap tak ditoleh oleh siapa pun, termasuk orang tuanya. Semua perhatian mereka teralih pada putri sulung—Mia yang sempurna. Mereka hanya terpaut beberapa tahun, dan meski keduanya tak pernah memperhatikan segala yang dia lakukan, sang kakak selalu melihat ke arahnya. Hal inilah yang membuat dia tak pernah bisa membenci satu-satunya orang yang bisa dipanggil keluarga.

"Kak Mia mau ke mana?" Dengan nada cadelnya gadis cilik itu bertanya pada anak yang berdiri di depan pintu.

Gadis yang berada dibangku sekolah dasar mengacak rambut gadis cilik. Senyumnya terkembang tak lama kemudian. "Kakak mau lari pagi, Zoe mau ikut?" Nada sang kakak terdengar sangat membujuk di telinga ciliknya, membuat Zoe mengangguk tanpa sadar. "Kalau Zoe mau, kita ganti baju dulu. Nanti kamu kedinginan kalau keluar pakai baju tipis."

Sejauh ingatan Zoe, sang kakak selalu menjadi orang yang mencintai lari. Gadis itu tak paham kenapa, tetapi setiap membahas lari, mata Mia akan berbinar laksana bintang di angkasa. Nada bicara gadis itu juga akan terdengar ceria. Dia kerap kali menceritakan padanya tentang ukuran lapangan, lomba lari apa saja dan sampai kategori yang biasa dilaksanakan.

Zoe suka sisi kakaknya satu itu. Dia sering tersenyum lebar, berbeda dengan senyum yang biasa Mia tampilkan di muka umum. Zoe harap kakaknya akan tetap seperti itu, dia harap tak ada hal yang menghalangi jalannya.

****

"Mia! Harus berapa kali Mama bilang, kamu itu pantasnya ikut kelas balet, piano, atau seni lukis! Bukan ikut klub lari yang tak jelas tujuannya buat apa!"

Mama kembali berteriak. Zoe paham, Mia kembali mendapatkan kritikan dari orang tua mereka. Sejak Mia mengatakan ingin menjadi atlet, orang tuanya menentang keras keinginannya. Dengan dalih reputasi keluarga, mereka mulai menyetir segala hal yang menyangkut Mia. Mereka memang anak keluarga terpandang, ditambah sang Papa yang merupakan politikus ternama. Mengetahui sang anak yang lebih memilih jalan para altet—yang menurut mereka buruk—membuat keduanya naik pitam.

Setidaknya sudah dua tahun Mia terkekang. Gadis yang awalnya sangat patuh pada orang tua menjadi pemberontak demi keinginan diri. Dia yang biasanya sering tersenyum kini sering marah dan mulai menjaga jarak dari dirinya. Zoe paham, ada yang aneh dengan kakaknya itu. Jadi, berbekal rasa nekat, dia memasuki kamar kakaknya yang kebetulan tak terkunci.

Pemandangan pertama yang ia lihat adalah banyaknya pakaian yang tersepak sembarangan di segala tempat. Zoe tak percaya, kakak yang sangat suka kebersihan itu berubah seratus delapan puluh derajat semacam ini. Merasa tak punya waktu banyak, Zoe mengeledah isi kamar. Dibukanya satu demi satu laci, kemudian beralih pada meja belajar sang kakak. Ketika sedang memeriksa, kakinya menginjak sesuatu. Dengan penasaran ia berjongkok, melihat jarum suntik bekas pakai.

"Sedang apa kau di sini, Zoe?" Suara kakaknya yang dingin membuat Zoe menoleh perlahan.

Kakaknya tetap berdiri di kusen pintu, memandang tajam Zoe sebelum masuk dengan hentakan kaki. "Harus berapa kali kubilang? Jangan. Pernah. Masuk. Ke. Kamarku. Kamu itu manusia apa hewan, sih? Susah banget dikasih tahu. Sekarang, keluar sebelum aku berteriak dan membuat pembantu ke sini."

Zoe hanya mengangguk, dia segera berlalu keluar kamar. Untunglah dia sempat membawa jarum suntik itu dan menyembunyikannya sehingga tak diketahui sang kakak.

****

"Cairan dopamine?" Zoe tak percaya dengan pendengarannya kali ini. "T-tapi bagaimana bisa? Bukannya harus ada resep dokter untuk mendapatkannya?"

"Saya tidak tahu, tapi beberapa atlet yang curang biasa memakainya sebagai penambah stamina."

"Baik, Dokter. Terima kasih."

Bersamaan dengan berakhirnya percakapan barusan, Zoe pulang dengan wajah lesu. Gadis itu masih tidak menyangka, kakak yang dia bangga-banggakan sampai berbuat curang sedemikian rupa.

Dalam hati dia bertekad hendak menanyakan langsung perihal obat ini. Maka, dia mempercepat langkah kakinya menuju rumah, ingin bertemu dengan sang kakak secepatnya.

"Jelaskan apa maksudnya." Zoe bertanya ketika mereka sudah berhadapan. Dia tak mempedulikan sepatu yang belum ditempatkan di rak, fokusnya hanya pada sang kakak, yang sekejap terlihat kaget pada penemuannya.

"Ah, kau tahu, ya?"

"Aku tak ingin basa-basi. Kenapa kakak pakai obat macam begini? Ini melanggar aturan, kak!"

"Lalu? Anak manja yang selalu berlindung di balik punggung orang sepertimu tahu apa? Tanpa itu, aku tidak bisa menang. Andai saja mereka tidak memaksaku macam-macam, aku tak perlu menyentuhnya!"

Zoe terkesiap. Mia yang ada di hadapannya ini, sama sekali tidak dia kenal. Perlahan, dia mendekat, berniat merengkuh sang kakak.

"Kak, ap—,"

"Coba saja kau bisa sedikit berguna, pasti aku tak perlu menuruti nafsu gila mereka. Coba saja kau yang jadi anak pertama, aku tak perlu jadi boneka bernyawa mereka. Coba saja mereka tidak ada, aku tidak perlu memikirkan penilaian orang-orang. Ini semua salah mereka dan kau!"

Zoe diam. Gadis itu lebih memilih semakin mendekat, hendak memaksakan pelukan yang selalu Mia sukai. Namun, gadis itu menepis tangan Zoe keras dan dengan pandangan nyalang dia berlari menjauh—keluar rumah tanpa membawa apapun.

Zoe yang berusaha mengejar kakaknya terdiam di depan pintu rumah. Segera masuk saat melihat satu dua mata tetangga menatap penasaran padanya.

"Kenapa harus menyalahkanku sih, Kak?"

Keadaan semakin keruh kala senja tiba. Kedua orang tuanya yang baru pulang bekerja itu mengamuk saat mengetahui Mia tak ada di rumah. Zoe yang menjadi sumber informasi justru dimarahi karena dianggap sebagai penyebab permasalahan.

Gadis itu tak melawan, tidak pula membela diri. Pikirannya kosong. Otaknya blank, tak tahu harus berbuat apa.

Di saat seperti ini, biasanya Mia yang selalu menangani. Meredam amarah orang tua mereka dengan janji-janji tak masuk akal yang sudah dapat dipastikan akan memberatkan sang kakak.

Ah, ternyata dia benar-benar beban bagi gadis kelas satu SMA itu. Ketika kehadirannya tak di sana, baru Zoe sadari, selama ini dialah sumber beban bagi sang Kakak.

****

Selama berhari-hari, Mia tak kembali ke rumah. Papa yang merasa reputasinya bisa turun karena masalah yang disebabkan anak gadisnya itu menyewa beberapa orang berjas untuk mencarinya. Keluarganya terpecah belah, dengan Zoe sebagai pusat penyalahan. Hingga sore datang, beberapa pria dengan pakaian tugas datang, mereka memberitahu bahwa seorang gadis dengan identitas Mia ditemukan menjadi korban tabrak lari.

Bukannya berkabung, dua orang dewasa itu saling menyalahkan satu sama lain, melemparkan kesalahan yang kemudian berujung pada Zoe. Munafik, mereka lebih mementingkan diri sendiri, gadis itu benci kendati demikian, dia pun tak menyukai diri sendiri yang hanya bisa menangis di kamar selama selama penuh.

****

Zoe tak terima kematian sang kakak, gadis itu tanpa sadar kembali teringat pada kata-kata terakhir yang diucapkan sang kakak. Berbekal beberapa info dari teman atlet yang dekat dengan Mia, gadis itu tersingkir dari kandidat perawikalan lari. Terjatuh dalam keputusan, saran main-main dari seseorang teman benar-benar dilakukan olehnya. Mereka bungkam, tetapi gadis yang menyingkirkan kakaknya sebelum itu melaporkan kecurangan yang Mia lakukan.

Altet tak boleh memakan obat-obatan, aturan mutlak yang Mia hancurkan demi mendapat posisi perwakilan lomba lari.

Nama gadis itu Frida, dan karena kehadirannyalah Mia menghilang dari dunia ini, selamanya

Giselle [✓] #WRITONwithCWBPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang