Case 13

23 8 3
                                    

Dua anak kecil itu saling pandang. Di balik punggung perempuan yang lebih tinggi darinya, anak lelaki cilik itu memandang sang anak perempuan yang terlihat seusia dengannya.

"Ke mana ibumu?" tanyanya polos kemudian mendapat teguran dari sang ibu.

Wajah gadis itu murung, sembari menunduk dia berkata terbata, "Mama ... pergi liburan."

"Terus, kamu nggak diajak?"

"Natan! Berhenti bersikap tak sopan." Bentakan ibunya membuat anak cilik itu diam.

"Maaf, Ma," cicitnya. Kemudian perlahan Natan keluar, dipandangnya sekali lagi gadis cilik itu. "Kamu mau main sama aku?" Sambungnya dengan senyum lebar.

Sang gadis cilik mengangguk, Natan dengan semangat menarik tangannya ke arah ayunan di taman bermain tersebut. Didudukkannya sang gadis di salah satu ayunan, sedang Natan di sisi lainnya

Kaki mungil Natan mulai ke belakang dan ke depan, membawa tubuh dan ayunan melayang. Ketika netranya memandang sebelah, ayunannya terhenti.

"Eh, kamu nggak mau main ayunan?" Kepalanya sedikit miring, dengan wajah polos dia bertanya.

Gadis itu geleng kepala, kemudian menundukkannya. "Aku nggak bisa ayunin ayunannya. Tinggi," ujarnya kemudian.

"Kalau begitu, biar Natan aja yang dorong!" serunya kemudian turun dari ayunan. Jemari mungil itu memegang dua tali di sisi sang gadis, kemudian ditarik sebelum kemudian didorong ke depan. Gadis cilik itu sempat kaget, kemudian tak berselang lama matanya berbinar-binar.

"Lagi! Lagi!" katanya saat ayunan mulai memelan, dengan yakin Natan kembali mendorong ayunan, senyumnya ikut terkembang saat mendengar gadis cilik tertawa.

Lama mereka bermain di ayunan, sedang Ibu Natan hanya memperhatikan interaksi keduanya dari kursi taman. Ketika jam yang berada di sana berdentang keras, sudah saatnya mereka mengakhiri kegiatan.

"Namamu, siapa?" Natan bertanya ketika mereka hampir berpisah, anak perempuan itu terdiam.

Ketika senyumnya terkembang, Natan mendapatkan jawabannya. "Namaku, Giselle."

****

Seminggu berlalu sejak pertemuan Natan dan Giselle di taman. Kedua anak itu cepat menjadi teman dekat. Natan yang semula tak ingin pergi keluar untuk bermain setiap hari memaksa sang Ibu menemaninya ke taman komplek—tempat di mana keduanya dapat bermain sampai puas.

"Mamamu masih nggak datang?" Natan kembali bertanya. Sudah sering mereka bermain, tetapi sampai saat ini dirinya tak bertemu dengan ibu Giselle.

"Mama sibuk. Dia sedang ada acara di rumah temannya," jawab gadis itu singkat. Tangannya sibuk dengan sekop, memasukkan pasir ke dalam sebuah ember kecil. Ditekannya sekop ketika pasir penuh mengisi ember, kemudian membaliknya sebelum mengangkat ember perlahan.

"Padahal aku ingin ketemu Mamamu," gumaman Natan terdengar oleh Giselle.

"Jangan! Nanti kamu takut sama Mama, terus nggak mau temanan sama Giselle lagi." Mata gadis itu menatapnya lekat.

"Takut? Kenapa?" tanya Natan sembari sedikit memiringkan kepala. Giselle yang mendengar balasan Natan diam.

Sebelum menjawab, gadis itu memilih memainkan ujung pakaian yang dirinya kenakan. "Mama itu ... beda dengan Mamamu. Dia, beda."

"Apa bedanya? Kan dia juga Ibu sama kayak Ibuku?"

"Pokoknya beda!" Giselle tiba-tiba berteriak, membuat Natan terdiam dan hanya membiarkan gadis cilik itu berlari menjauh darinya.

Melihat kejadian itu lantas Ibu Natan mendekati putra sulungnya. "Ada apa dengan Giselle? Ibu memanggilnya tadi tapi dia nggak menoleh?"

"Ibu, apa bedanya Mama Giselle sama Ibu? Kok Giselle kayak nggak percaya ucapanku?" Wanita paruh baya itu hanya melihat mata penuh kebingungan puteranya.

Setelah kejadian itu, dua hari berurutan Giselle tak pernah ada di taman lagi. Hal itu sontak membuat Natan mencarinya. Namun, gadis cilik itu tak pernah kembali.

"Ibu, gimana kalau kita ke rumahnya saja? Ibu pasti tahu alamat seluruh orang di komplek ini, kan?" Natan berkata demikian pada hari ketiga dengan wajah memerah sebab terlalu lama berada di bawah matahari.

Wanita itu berjongkok kemudian, mensejajarkan posisinya dengan Natan. "Ya, Ibu memang tahu alamatnya. Namun, apa mereka akan menerima kita yang datang secara mendadak?"

"Pasti, Bu! Natan kan teman dekat Giselle, pasti Ibunya mengizinkan kita masuk ke sana." Dengan sembarangan Natan berucap. Membuat sang ibu terdiam sebentar.

Akan tetapi, Natan tak peduli. Anak kecil itu merengek, meminta diantar ke rumah gadis kecil itu. Akhirnya, sang Ibu menyerah. Wanita itu mengiyakan keinginan puteranya.

****

"Siapa ini?" Wanita muda dengan paras cantik bertanya sinis. Pandangannya memandang lurus ke arah si kecil Natan, yang sedang memeluk parsel penuh buah-buahan.

"Maafkan kami ya Mbak. Tapi, putera saya ingin bertemu dengan anak Mbak, Giselle." Ibu Natan tersenyum kecil, membuat atensi tajam beralih padanya.

"Giselle? Ada urusan apa, ya? Anak itu tak pernah menceritakan apapun padaku," aku wanita itu datar. Matanya masih memandang ke penampilan ibu dan anak tersebut.

"Giselle itu teman Natan, jadi Natan mau menemuinya karena dia nggak ke taman dua hari ini," ujar Natan bersama dengan senyum polosnya. Wanita itu hanya diam saja kemudian sedikit membuka pintu.

"Masuk saja, saya panggilkan anak itu sebentar." Setelah mengatakan hal tersebut dia berlalu acuh, dan naik ke lantai dua.

Selama menunggu Natan dan ibunya duduk di ruang tamu. Banyak hiasan yang terlihat indah dan mahal, membuat anak kecil itu tak tahan hanya melihat saja.

"Natan, kembali ke sini," perintah sang ibu membuat Natan yang semula mengangumi ukiran di vas bunga kaca kembali ke bangku. Wajahnya cemberut, kendati demikian ibunya lebih memilih tak melihat tingkah anaknya.

Tak lama kemudian Giselle turun. Wajah gadis itu sedikit sembab dan gemetar. Matanya merah saat memandang Natan, membuat anak kecil itu panik.

"Kamu kenapa? Abis nonton film sedih?" tanya Natan yang mendapat gelengan dari Giselle.

"Aku hanya sedang mendapat ... perhatian," cicitnya sangat pelan di ujung kalimat. Natan tak mendengar, anak itu kebingungan.

"Oh! Aku ketemu Mamamu lo tadi. Mamamu cantik banget," aku Natan. Giselle hanya diam sedang Ibu Natan memperhatikan keduanya.

"Mama memang cantik. Dia selalu pakai alat buat wajah. Katanya, kalau sudah besar Giselle boleh pakai alatnya." Anak itu tersenyum, sebelum diam. "Tapi ... Mama nggak kayak Ibu Natan. Dia ... nggak peduli sama sekali ke Giselle."

"Kalau gitu ... biar Natan aja yang perhatian sama Giselle." Natan tersenyum kemudian. Wajah anak itu sedikit dekat dengan wajah Giselle.

"Janji?" Giselle bertanya, yang kemudian malah disodorkan jari kelingking.

"Janji dong. Natan akan selalu, selalu memperhatikan Giselle. Jadi, jangan nangis, ya. Lihat tuh, wajahmu sekarang aneh banget karena nangis." Natan menyeka air mata yang tanpa sadar keluar dari kelopak mata Giselle. Gadis cilik itu tak menyangka dia menangis lagi.

Setelah keduanya menautkan jemari, ikrar telah resmi tersemat di antara mereka.

****

Natan memperhatikan foto dirinya dan Giselle di album. Mata gadis itu menyipit sembari senyum lebar terkembang di kedua sisi mulut. Tanpa dia lihat lagi dia tahu perasaan gadis itu ketika foto tersebut diambil.

"Sebenarnya, apa maumu, Elle?" 

Giselle [✓] #WRITONwithCWBPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang